Tuesday, December 1, 2015

Karakteristik Sosiologi

Kemudian  jika  ditelaah  lebih  lanjut,  tentang  karakteristik  sosiologi  itu  menurut
Soekanto  (1986:  17)  mencakup:  Pertama;  sosiologi  merupakan  bagian  dari  ilmu  sosial, bukan merupakan bagian ilmu pengetahuan alam maupun ilmu kerokhanian. Pembedaan tersebut bukan semata-mata perbedaan metode, namun menyangkut pembedaan substansi, yang  kegunaannya  untuk  membedakan  ilmu-ilmu  pengetahuan  yang  bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gejala- gejala kemasyarakatan. Khususnya, pembedaan tersebut di atas membedakan sosiologi dari astronomi, fisika,  geologi, biologi dan  lain-lain ilmu pengetahuan alam  yang  kita  kenal. Selain itu juga dapat dipahami karena kajian sosiologi sangat luas yakni tentang masyarakat (interaksi sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial).
Kedua; sosiologi bukan merupakan disiplin yang normatif, melainkan suatu disiplin yang bersifat kategoris; artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, dan bukan mengenai apa yang semestinya terjadi atau seharusnya terjadi. Dengan demikian sosiologi dapat dikategorikan sebagai ”ilmu murni” (pure science), dan bukan merupakan ilmu terapan (applied science). Sebagai ilmu murni” (pure science) sosiologi bukan disiplin yang normatif. Artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, serta bukan mengenai apa yang terjadi seharusnya terjadi. Di sini berarti sosiiologi tidak menetapkan   kearah   mana   sesuatu   seharusnya  berkembang,  dalam   arti   memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Dengan demikian dalam sosiologi tidak menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah. Tentu saja berbeda dengan ”ilmu terapan” (applied science) yang bertujuan untuk mempergunakan dan menetapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat, contohnya ilmu pendidikan.
Ketiga; sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum (nomotetik). Berbeda dengan sejarah misalnya (lebih banyak meneliti dan mencari
pola-pola khusus atau ideografik) yang menekankan tentang keunikan sesuatu yang dikaji. Dalam arti bahwa sosiologi mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum dari interaksi antar manusia individu maupun kelompok dan perihal sifat hakikat,
bentuk, isi serta struktur maupun proses dari masyarakat manusia, dan; Keempat: Sosiologi merupakan  ilmu  sosial  yang  empiris,  faktual,  dan  rasional.  Dakam  istilah  Spencer  dan Inkeles (1982: 4) dan Popenoe (1983: 5) mereka menyebutnya “the science of the obvious” atau “jelas nyata.
Kelima; sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, bukan tentang ilmu pengetahuan yang konkrit. Artinya bahwa bahan kajian yang diperhatikan dalam sosiologi adalah  bentuk-bentuk  dan  pola-pola  peristiwa-peristiwa  dalam  masyarakat,  dan  bukan
wujudnya tentang masyarakat yang konkrit.
Keenam; sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menghasilkan pengertian- pengertian dan pola-pola umum. Karena dalam sosiologi meneliti dan mencari apa yang
menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum daripada interaksi antar manusia dan juga   perihal   sifat   hakikat,   bentuk,   isi   dan   struktur   dari   masyarakat.  Sebagai   ilmu pengetahuan yang  umum, dan  bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus, maka
dalam sosiologi mempelajari gejala umum yang ada pada interaksi manusia.
Sosiologi sebagai ilmu yang memfokuskan pada kajian pola-pola interaksi manusia, dalam   perkembangannya   seringkali   lebih   banyak   dihubungkan   dengan   kebangkitan




modernitas. Menurut Zygmunt Bauman (2000: 1023) keterkaitan tersebut didasarkan beberapa alasan:
Pertama, mungkin satu-satunya denominator umum dari sejumlah besar mazhab pemikiran  dan  strategi  riset  yang  mengklaim  mengandung  sumber  sosiologis  adalah
fokusnya pada masyarakat. Fokus tersebut dapat mengambil salah satu dari dua bentuk. Beberapa  sosilog  mengambil  pembahasan  mengenai  struktur  dan  proses  yang  dapat dianggap sebagai atribut “totalitas”. Sarjana lainnya lebih menitikberatkan perbedaan yang
dibuat untuk kondisi dan perilaku individu dan kelompok individu berdasarkan fakta bahwa mereka ini membentuk bagian dari totalitas tersebut yang dinamakan “masyarakat”. Tetapi masyarakat yang dipahami sebagai wadah supra-individu dan mendorong atau membatasi
tindakan individu yang dapat dilihat secara langsung, merupakan ciptaan zaman modern yang  berbeda  dengan  mayrakat  masa  lalu.  Di  dalam  masyarakat  modern,  tindakan cenderung  mengambil  bentuk  mode  perilaku  yang  terkondisikan  dan  karena  itu  ada
kemungkinan untuk diprediksi. Tetapi karena masyarakat adalah the rule of nobody, tanpa alamat yang pasti, maka mekanisme-mekanisme yang mendasari pengkondisian ini menjadi sulit  untuk  dibuktikan  Mekanisme-mekanisme tersebut  tidak  terwakili  dalam  kesadaran aktor yang perilakunya dibentuk oleh mekanisme itu sendiri. Untuk memahaminya maka
mekanisme tersebut harus ditemukan terlebih dahulu. Baru setelah statistika berkembang dalam sosiologi, hal ini dimungkinkan untuk memisahkan masyarakat sebagai obyek studi otonom,  sebagai  entitas  yang  berbeda  dari  individu,  tindakan  yang  termotivasi,  karena
statistik dapat memberikan represntasi tunggal dari tindakan massa (Bauman, 2000: 1025).
Kedua,  fenomena  modern  lainnya  yang  khas  adalah  ketegangan  konstan  antar manusia yang muncul dari latar belakang tradisional dan komunal, yang berubah menjadi
“individu: dan menjadi subyek tindakan otonom, serta “masyarakat” yang dialami sebagai batasan sehari-hari terhadap tindakan dari keinginan individu. Paradoksnya adalah bahwa individu  modern  tidak  dapat  sepenuhnya  merasa  nyaman  dan  betah  tinggal  dengan
masyarakat, sedangkan  ia  sebagai individu juga  tidak  dapat  berada  di  luar  masyarakat. Akibatnya  studi  tentang  masyarakat  dan  ketegangan  antar  kapasitasnya, baik  itu  untuk menghalangi atau memberdayakan, telah didorong oleh dua kepentingan yang meskipun berkaitan namun berbeda satu sama lain, dan pada prinsipnya bertentangan satu sama lain
dalam aplikasi praktis serta konsekuensinya. Di satu pihak ia ada kepentingan untuk memanipulasi  kondisi  sosial  sedemikian  rupa  guna  mendapatkan  perilaku  yang  lebih seragam seperti yang dinginkan oleh pihak yang berkuasa. Persoalan utama di sini adalah
masalah “disiplin”, yaitu memaksa agar berperilaku dalam cara tertentu meskipun mereka tidak sepakat, atau bahkan menolak terhadap pihak-pihak pemegang kendali. Di pihak lain, ia  ada  kepentingan untuk  memahami mekanaisme regulasi sosial sehingga secara  ideal,
kapasitas pemberdayaan mereka dapat digunakan maupun ditolak dalam upaya penyeragaman tersebut.
Ambivalensi   yang   melekat   dalam   kondisi   manusia   modern,   kondisi   ini   bisa
membatasi atau memberdayakan secara simultan, direfleksikan dalam definisi diri sosiologi sebagai studi ilmiah tentang masyarakat dan tentang aspek kehidupan manusia yang diambil dari “kehidupan di dalam masyarakat”. Model teoretis dari masyarakat yang dibentuk oleh sosiologi  seringkali  menghadirkan  pandangan  dari  atas,  seolah-olah  sosiologi  berada  di ruang kendali. Masyarakat dianggap sebagai obyek rekayasa sosial sedangkan “problem sosial” digambarkan sebagai masalah administrasi belaka, yang mesti diselesaikan dengan aturan hukum dan penyebaran kembali sumber-sumber daya. Di pihak lain, sosiologi mau tak  mau  harus  merespon  ”kemarahan”  karena  penindasan  yang  terkandung  di  dalam rekayasa sosial. Inilah mengapa di sepanjang sejarahnya sosiologi telah menimbulkan kritik dari  kedua  belah  pihak  yang  bertentangan  dalam  politik.  Pemegang  kekuasaan  akan menuduh sosiologi merelatifkan tatanan yang mereka janjikan akan ditingkatkan dan dipertahankan, dan karena itu melemahkan kekuasaan mereka serta memicu kerusuhan dan subversi. Sedangkan rakyat yang mempertahankan cara hidup mereka atau cita-cita mereka, akan menuduh bahwa sosiologi bertindak sebagai penasihat dari lawan mereka. Intensitas dari tuduhan-tuduhan tersebut tidak banyak merefleksikan pernyataan-pernyataan sosiologi sebagai  pernyataan konflik  sosial  di  mana  berdasarkan  hakikat  kerjanya  sosiologi  tidak mungkin lepas dari masalah tersebut.




Dapat  dipahami  jika  pertentangan  semacam  itu  dapat  menjatuhkan  legitimasi validitas pengetahuan sosiologi dan menolak otoritas ilmiahnya. Tuduhan semacam ini membuat para sosiolog sangat sensitif mengenai status ilmiah mereka. Karena itulah mereka mencoba memperbaharui usaha mereka, meskipun tidak pernah sempurna, untuk meyakinkan baik itu opini akademik maupun publik, bahwa pengetahuan yang diberikan oleh sosiolog lebih unggul daripada opini popular publik yang tanpa bantuan metode pengetahuan ilmiah (Bauman, 2000: 1025).
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki cakupan luas dan banyak cabang yang dipersatukan meskipun tidak terlalu kuat oleh strategi hermeneutika dan ambisi untuk mengoreksi kepercayaan umum. Garis batas bidang tersebut mengikuti divisi fungsional serta  melembaga  di  dalam  organisasi  masyarakat  yang  menjawab  tuntutan  efektif  dari bidang manajemen yang telah mapan.
Jadi spesialisasi bentuk pengetahuan terakumulasi dengan fokus pada penyimpangan dan kebijakan korektif atau hukuman, politik dan istitusi
politik, tentara dan perang, ras dan etnis, perkawinan dan keluarga, pendidikan dan media kultural, teknologi informasi, agama dan institusi agama,    industri    dan    pekerjaan,   kehidupan   urban    dan    persoalan-
persoalannya, kesehatan dan kedokteran (Bauman, 2000: 1032).

Walaupun demikian tidak semua penelitian spesifik tersebut dapat dilakukan tanpa ambiguitas yang dihubungkan tuntutan administratif. Ambiguitas yang selalu ada dalam sosiologi yang dapat dilacak dari respons ambivalen para sosiolog terdahulu terhadap proyek rasionalitas modernitas.  Hal  ini  mengejawantahkan dirinya  sendiri  dalam  kelangsungan bidang studi yang tidak mengandung aplikasi administrasi langsung. Jelasnya perbedaan antara stabilisasi dan  destabilisasi, tujuan  yang  tampak maupun tersembunyi, melintasi divisi tematik dan tak satupun dari bidang studi spesialisasi tersebut dapat terbebas dari ambivalensi. Namun beberapa bidang pemikiran sosiologi tertentu membahas tentang penolakan individu terhadap manipulasi manajerial dan usaha-usaha untuk mengendalikan kehidupan mereka dengan lebih jelas daripada pemikiran lainnya. Bidang studi yang relevan di antaranya adalah kesenjangan sosial (baik berdasarkan kelas, gender, maupun ras), pembentukan identitas, interaksi dalam kehidupan sehari-hari, keintiman dan depersonalisasi, dan lain-lain. Berlawanan dengan bidang studi yang berorientasi manajemen, ada kecenderungan yang jelas ke arah percampuran, meminjam pandangan, dan membongkar batas-batas antara bidang keahlian. Hal ini sesuai dengan tujuan strategis keseluruhan dari pemulihan keutuhan kepribadian dan kehidupan, yang terpisah dan terfragmentasi oleh pembagian yang dilembagakan (Bauman, 2000: 1032).

No comments:

Post a Comment