Kemudian jika ditelaah
lebih
lanjut, tentang
karakteristik
sosiologi
itu
menurut
Soekanto (1986: 17) mencakup: Pertama;
sosiologi merupakan
bagian
dari
ilmu
sosial,
bukan merupakan bagian ilmu pengetahuan alam maupun ilmu kerokhanian. Pembedaan tersebut bukan semata-mata perbedaan metode, namun menyangkut
pembedaan substansi,
yang kegunaannya
untuk membedakan
ilmu-ilmu pengetahuan yang
bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gejala-
gejala kemasyarakatan. Khususnya, pembedaan tersebut di atas membedakan sosiologi dari astronomi, fisika, geologi, biologi
dan lain-lain ilmu pengetahuan alam yang kita
kenal. Selain itu juga dapat dipahami karena kajian sosiologi
sangat luas yakni tentang masyarakat (interaksi sosial, gejala-gejala
sosial, organisasi sosial, struktur
sosial, proses sosial, maupun
perubahan sosial).
Kedua; sosiologi bukan merupakan
disiplin yang normatif, melainkan
suatu disiplin yang bersifat kategoris; artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, dan
bukan mengenai apa yang semestinya terjadi atau seharusnya terjadi. Dengan demikian
sosiologi dapat dikategorikan sebagai ”ilmu murni” (pure science), dan bukan merupakan
ilmu terapan (applied science). Sebagai ”ilmu murni” (pure
science) sosiologi
bukan disiplin yang normatif.
Artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, serta bukan mengenai apa yang terjadi seharusnya
terjadi. Di sini berarti sosiiologi tidak menetapkan
kearah mana sesuatu seharusnya berkembang,
dalam arti
memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Dengan demikian dalam sosiologi tidak menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah. Tentu saja berbeda dengan ”ilmu terapan”
(applied science) yang bertujuan
untuk mempergunakan dan menetapkan ilmu pengetahuan
tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu
kehidupan masyarakat, contohnya ilmu pendidikan.
Ketiga; sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola
umum
(nomotetik).
Berbeda dengan sejarah misalnya
(lebih banyak meneliti dan mencari
pola-pola khusus atau ideografik) yang menekankan tentang keunikan sesuatu yang dikaji. Dalam
arti bahwa sosiologi mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum
umum dari interaksi antar manusia individu
maupun kelompok dan perihal sifat hakikat,
bentuk, isi serta struktur maupun proses dari masyarakat manusia, dan; Keempat:
Sosiologi merupakan
ilmu sosial yang empiris, faktual, dan rasional.
Dakam istilah Spencer dan
Inkeles (1982: 4) dan Popenoe (1983: 5) mereka menyebutnya
“the science of the obvious”
atau “jelas nyata”.
Kelima; sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, bukan tentang ilmu
pengetahuan yang konkrit. Artinya bahwa bahan kajian yang diperhatikan
dalam sosiologi adalah bentuk-bentuk
dan
pola-pola peristiwa-peristiwa dalam
masyarakat,
dan bukan
wujudnya tentang masyarakat yang konkrit.
Keenam; sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
yang menghasilkan pengertian- pengertian dan pola-pola umum. Karena dalam sosiologi
meneliti dan mencari apa yang
menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum
umum
daripada interaksi antar manusia dan
juga
perihal sifat
hakikat, bentuk,
isi dan struktur dari masyarakat. Sebagai ilmu
pengetahuan yang umum, dan bukan
merupakan ilmu pengetahuan yang khusus, maka
dalam sosiologi
mempelajari gejala umum yang ada pada interaksi manusia.
Sosiologi sebagai ilmu yang memfokuskan pada kajian pola-pola interaksi manusia,
dalam perkembangannya seringkali lebih
banyak
dihubungkan dengan
kebangkitan
modernitas. Menurut Zygmunt Bauman (2000: 1023) keterkaitan tersebut didasarkan beberapa alasan:
Pertama, mungkin satu-satunya denominator umum dari sejumlah besar mazhab pemikiran dan strategi riset yang
mengklaim
mengandung
sumber
sosiologis
adalah
fokusnya pada masyarakat. Fokus tersebut dapat mengambil salah satu dari dua bentuk.
Beberapa sosilog
mengambil
pembahasan mengenai
struktur
dan proses yang dapat
dianggap sebagai atribut “totalitas”. Sarjana lainnya lebih menitikberatkan perbedaan yang
dibuat untuk kondisi dan perilaku
individu dan kelompok individu berdasarkan fakta bahwa mereka ini membentuk bagian dari totalitas tersebut yang dinamakan “masyarakat”. Tetapi masyarakat yang dipahami sebagai wadah supra-individu dan mendorong atau membatasi
tindakan individu yang dapat dilihat secara langsung, merupakan ciptaan
zaman modern yang berbeda dengan
mayrakat
masa lalu. Di dalam masyarakat modern, tindakan cenderung mengambil bentuk
mode perilaku
yang
terkondisikan dan karena itu ada
kemungkinan untuk diprediksi.
Tetapi karena masyarakat adalah the rule of nobody, tanpa alamat yang pasti, maka mekanisme-mekanisme yang mendasari pengkondisian ini menjadi sulit untuk
dibuktikan Mekanisme-mekanisme tersebut
tidak terwakili dalam kesadaran
aktor yang perilakunya dibentuk
oleh mekanisme itu sendiri. Untuk memahaminya maka
mekanisme
tersebut harus ditemukan
terlebih dahulu. Baru setelah statistika berkembang dalam sosiologi, hal ini dimungkinkan untuk memisahkan
masyarakat sebagai obyek studi
otonom, sebagai entitas yang berbeda
dari
individu, tindakan
yang
termotivasi,
karena
statistik dapat memberikan represntasi tunggal dari tindakan massa (Bauman, 2000: 1025).
Kedua, fenomena modern
lainnya yang khas adalah
ketegangan
konstan antar
manusia yang muncul dari latar belakang tradisional dan komunal, yang berubah menjadi
“individu: dan menjadi subyek tindakan otonom, serta “masyarakat”
yang
dialami sebagai batasan sehari-hari terhadap tindakan dari keinginan individu. Paradoksnya
adalah bahwa individu modern tidak dapat
sepenuhnya merasa
nyaman dan betah
tinggal
dengan
masyarakat, sedangkan
ia sebagai individu
juga tidak dapat
berada di luar masyarakat.
Akibatnya studi
tentang
masyarakat dan
ketegangan
antar kapasitasnya, baik
itu untuk menghalangi atau memberdayakan, telah
didorong oleh dua kepentingan yang meskipun berkaitan namun berbeda satu sama lain, dan pada prinsipnya bertentangan satu sama lain
dalam aplikasi praktis serta konsekuensinya.
Di satu pihak ia ada kepentingan untuk
memanipulasi kondisi sosial
sedemikian rupa
guna
mendapatkan perilaku
yang
lebih seragam
seperti yang dinginkan
oleh pihak yang berkuasa. Persoalan utama di sini adalah
masalah “disiplin”, yaitu memaksa agar berperilaku dalam cara tertentu meskipun mereka tidak sepakat, atau bahkan menolak terhadap pihak-pihak pemegang kendali. Di pihak lain, ia ada kepentingan untuk memahami mekanaisme regulasi sosial
sehingga secara ideal,
kapasitas pemberdayaan mereka dapat digunakan maupun ditolak dalam upaya penyeragaman tersebut.
Ambivalensi yang
melekat
dalam kondisi
manusia
modern,
kondisi
ini
bisa
membatasi atau memberdayakan
secara simultan, direfleksikan dalam definisi diri sosiologi
sebagai studi ilmiah tentang masyarakat dan tentang aspek kehidupan
manusia yang diambil dari “kehidupan di dalam masyarakat”.
Model teoretis
dari masyarakat yang dibentuk oleh sosiologi seringkali menghadirkan pandangan dari atas,
seolah-olah sosiologi berada di ruang kendali. Masyarakat dianggap sebagai obyek rekayasa sosial sedangkan “problem
sosial” digambarkan sebagai masalah administrasi belaka, yang mesti diselesaikan dengan aturan hukum dan penyebaran kembali sumber-sumber daya. Di pihak lain, sosiologi mau tak mau
harus
merespon ”kemarahan” karena
penindasan yang
terkandung
di
dalam
rekayasa sosial. Inilah mengapa di sepanjang sejarahnya sosiologi telah menimbulkan
kritik dari kedua belah
pihak yang
bertentangan
dalam politik.
Pemegang kekuasaan
akan menuduh sosiologi merelatifkan tatanan yang mereka janjikan akan ditingkatkan dan
dipertahankan, dan karena itu melemahkan
kekuasaan mereka serta memicu kerusuhan dan subversi.
Sedangkan rakyat yang mempertahankan cara hidup mereka atau cita-cita mereka,
akan menuduh bahwa sosiologi
bertindak sebagai penasihat
dari lawan mereka. Intensitas
dari tuduhan-tuduhan tersebut tidak banyak merefleksikan pernyataan-pernyataan sosiologi
sebagai pernyataan konflik
sosial
di
mana
berdasarkan
hakikat kerjanya sosiologi tidak mungkin lepas dari masalah
tersebut.
Dapat dipahami jika pertentangan semacam
itu
dapat
menjatuhkan
legitimasi validitas pengetahuan sosiologi dan menolak otoritas ilmiahnya. Tuduhan semacam ini membuat
para sosiolog sangat sensitif mengenai
status ilmiah mereka. Karena itulah mereka
mencoba memperbaharui usaha
mereka, meskipun tidak pernah sempurna, untuk meyakinkan baik itu opini akademik maupun publik, bahwa
pengetahuan yang diberikan oleh sosiolog lebih unggul daripada
opini popular publik yang tanpa bantuan metode pengetahuan ilmiah
(Bauman, 2000: 1025).
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki cakupan luas dan banyak cabang yang dipersatukan meskipun tidak terlalu kuat oleh strategi hermeneutika
dan ambisi untuk mengoreksi kepercayaan umum. Garis batas bidang tersebut mengikuti divisi
fungsional serta melembaga di dalam organisasi
masyarakat yang menjawab
tuntutan
efektif
dari bidang manajemen yang telah mapan.
Jadi spesialisasi bentuk pengetahuan terakumulasi
dengan fokus pada penyimpangan dan kebijakan korektif atau hukuman, politik dan istitusi
politik, tentara dan perang,
ras dan etnis, perkawinan dan keluarga,
pendidikan dan media kultural,
teknologi informasi, agama dan institusi agama, industri
dan pekerjaan, kehidupan urban
dan
persoalan-
persoalannya, kesehatan dan kedokteran (Bauman, 2000:
1032).
Walaupun demikian
tidak semua penelitian spesifik tersebut
dapat dilakukan tanpa ambiguitas yang dihubungkan tuntutan administratif. Ambiguitas yang selalu ada dalam sosiologi yang dapat dilacak dari respons
ambivalen para sosiolog terdahulu terhadap proyek rasionalitas modernitas. Hal ini mengejawantahkan dirinya
sendiri dalam kelangsungan bidang studi yang tidak mengandung
aplikasi administrasi langsung. Jelasnya perbedaan
antara stabilisasi dan destabilisasi, tujuan
yang
tampak maupun tersembunyi, melintasi divisi
tematik dan tak satupun dari bidang studi spesialisasi tersebut dapat terbebas dari ambivalensi. Namun beberapa bidang pemikiran sosiologi tertentu
membahas tentang penolakan individu terhadap manipulasi manajerial dan usaha-usaha untuk mengendalikan kehidupan mereka dengan lebih jelas daripada
pemikiran lainnya. Bidang
studi yang relevan di antaranya adalah kesenjangan sosial (baik berdasarkan kelas, gender, maupun ras), pembentukan
identitas, interaksi dalam kehidupan sehari-hari, keintiman dan
depersonalisasi, dan lain-lain. Berlawanan dengan bidang studi yang berorientasi
manajemen, ada kecenderungan yang jelas ke arah percampuran, meminjam pandangan, dan membongkar batas-batas
antara bidang keahlian. Hal ini sesuai dengan tujuan strategis keseluruhan dari pemulihan keutuhan kepribadian dan kehidupan, yang terpisah dan terfragmentasi oleh pembagian yang dilembagakan (Bauman, 2000: 1032).
No comments:
Post a Comment