Kebanyakan ilmu pengetahuan yang lebih tua, seperti ilmu-ilmu phisika
dan kimia, kebanyakan dari bidang ilmu pengetahuan tersebut diterangkan oleh sejumlah
Grand Theory yang sangat komplementer
dan saling berhubungan yang diterima oleh semua spesialis dalam disiplin itu. Grand Theory adalah seluruh abstrak dan termasuk teori yang menjelaskan kebanyakan dari fakta dalam suatu disiplin
dan menempatkan kebanyakan dari prinsip dan peraturan umum ke dalam suatu sistem terpadu. Contoh grand theory yang populer adalah teori tindakan
sosial dan teori sistem sosial.
1.
Teori
Tindakan Sosial dan Sistem
Sosial dari Parsons
Teori ‘tindakan sosial’
Parsons,
sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sosiolog sebelumnya seperti; Alfred Marshall, Vilfredo Pareto, Emile Durkheim, dan Max Weber, yang dituangkan dalam karyanya “The Stucture of Social Action”.(1937). Inti argumennya adalah bahwa: “keempat tokoh teoretisi
tersebut akhirnya
sampai pada suatu titik temu dengan
elemen-elemen dasar
untuk suatu
teori tindakan sosial yang
bersifat voluntaristik, walaupun mereka berbeda dalam titik tolaknya”. Kemudian dalam analisisnya Parsons
menggunakan kerangka
alat-tujuan (means-ends framework), yang intinya:
(a)
tindakan itu diarahkan pada tujuannya atau memiliki suatu tujuan; (b) tindakan terjadi
dalam suatu situasi, di mana beberapa
elemennya sudah pasti,
sedangan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagai alat untuk menmcapai
tujuan tersebut; (3) secara normative tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Dalam
arti bahwa tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan
sosial yang paling kecil dan paling
fundamental. Elemen-elemen dasar dari suatu tindakan adalah; tujuan, alat, kondisi dan norma
(Johnson, 1986, 106). Antara alat dan kondisi itu berbeda dalam hal di mana orang yang
bertindak itu mampu menggunakan alat dalam usahanya mencapai tujuan; sedangkan kondisi merupakan aspek situasi yang dapat dikontrol oleh yang bertindak
tersebut.
Sedangkan untuk teori sistem sosial, Parsons
melihatnya bahwa kenyataan sosial dari suatu perspektif yang sangat luas,
yang tidak terbatas pada tingkat struktur sosial saja.
Berulang kali
ia
menunjuk
pendekatannya sebagai suatu teori mengenai tindakan
yang bersifat umum sebagaimana
ia ungkapkan ide-idenya tersebut dalam karyanya Toward A General Theory of
Action (1951a) bersama Edward A. Shils, dan The Social System
(1951b) . Sistem sosial hanyalah sasalh satu dari sistem-sistem yang termasuk dalam perspektif keseluruhan; sistem kepribadian dan sistem budaya merupakan sistem-sistem yang secara analitis dapat dibedakan, juga termasuk di dalamnya. Seperti hanlnya dengan organisme perilaku. Dalam analisisnya lebih lanjut, sistem-sistem sosial terbentuk dari tindakan- tindakan sosial individu.
Dalam teori sistem sosial tersebut Parsons dan rekan-rekanya
mengembangkan kerangka A-G-I-L (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latent Pattern Maintenance) (Johnson,
1986: 129-131), sebagai empat persayarat-persyaratan fungsional
dalam semua sistem soail dikembangkan.
Adaptation, memunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya baik itu yang bersifat
‘transformasi aktif dari situasi’ yang pada umumnya segi-segi situasi yang dapat dimanipulasi
sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan ‘inflexible’ suatu kondisi
yang tidak dapat ataupun
sukar diubah. Goal
Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang berasumsi bahwa tindakan itu
selalu diarahkan pada tujuannya terutama pada tujuan bersama para anggota dalam sustu
sistem sosial. Integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi
antara para anggota dalam suatu sistem sosial. Sedangkan Latent Pattern Maintenance,
menunjukkan pada berhentinya interaksi, baik itu karena letih ataupun jenuh, serta tunduk
pada sistem sosial di mana dia berada.
Keempat persyaratan fungsional tersebut
dipandang Parsons sebagai suatu keseluruhan
yang
juga terlibat dalam saling tukar lingkungannya.
Lingkungan sistem sosial itu terdiri
atas; lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem
budaya, dan organisme perilaku. Pendekatan fungsionalisme structural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar
mereka sebagai berikut:
(1)
Masyarakat haruslah dilihat sebagai
suatu sistem daripada
bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
(2)
Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bgian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal-balik.
(3)
Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna,
namun secara fundamental
sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah
equilibrium
yang bersifat dinamis: menanggapi
perubahan-perubahan yang dating dari luar
dengan kecenderungan memelihara
agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai
akibatnya hanya akan
mencapai derajat yang minimal.
(4)
Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan- penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka
panjang keadaan tersebut
pada akhirnya akan teratasi dengan
sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi.Dengan perkataan lain, sekalipun
integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
(5)
Perubahan-perubahan di dalam
sistem sosial
pada
umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian, dsn yidsk secara revolusioner. Perubahan-perubahan yang terjadi
secara secara drastic pada umumnya hanya mengenai bentuknya luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.
Namun untuk sosiologi, tidak sepenuhnya
berlaku grand theory seperti itu, sebab belakangan ini juga banyak terjadi perubahan-perubahan.
Walaupun mulanya ketika bidang
sosiologi muncul, suatu pencarian untuk penjelasan tingkah laku manusia yang tunggal dan sesuatu teori penekanannya yang non-empirik
mendominasi bidang
tersebut. Awal kehadiran para ahli sosiologi, seperti Auguste Comte dan para pengikutnya, pada umumnya mereka adalah orang-orang di
belakang meja (“sarjana salon”) dimana
mereka sebagai sosiolog tidak melalakukan riset empiris.
Sebaliknya, dalam sejarah ringkas sosiologi
di
samping
mempunyai ahli grand theory, juga memiliki
peneliti-peneliti yang bersifat empiris
ternama khusunya pada generasi kedua.. Seperti sarjana sosiologi George Homans, Paul F. Lazarsfeld, dan Robert K. Merton
adalah kedua-duanya ahli teori dan penganut aliran
empirisme. Pada saat sekarang ini
semakin banyak ahli teori sosiologi yang melakukan penelitian empiris. Begitu juga tidak menutup
kemungkinan
para
ahli sosiologi akan
mungkin
bisa
merumuskan
perpaduan grand theory dan empirisme sekali waktu di masa mendatang.
2. Teori Globalisasi ‘of Nothing’ dari George
Ritzer
Dewasa ini kehadiran
teori globalisasi begitu banyak menghiasi
khasanah keberagaman teori-teori sosiologi. Sebagai contoh teori globalisasi
Kellner tentang Techno-
Capitalism, Anthony Giddens
tentang Runaway Word Globalization, Zygmunt Bauman
tentang Konsekuensi Glbalisasi, George Ritzer tentang Globalization of Nothing, Arjun
Appadurai tentang teori Landscape dan lain-lain.
-
Teori Globalisasi of Nothing
dari George Ritzer Dalam tulisannya yang berjudul The Globalization of Nothing (2004), Ritzer mengemukakan bahwa:
1. Yang dimaksud ‘nothing’ oleh Rizer secara umum adalah bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara sentral
yang sebagian besar adalah kosong dari isi yang distingtif. Dengan demikian ‘nothing’
berarti bukan sesuatu, yakni sesuatu bukan akibat dari sesuatu yang lain., maka dari itu globalisasi cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia.
2. Sebaliknya,
sesuatu
(something) didefinisikan sebagai bentuk yang dibayangkan
dan
dikontrol secara
indigenous
yang
sebagian besar kaya
dalam
isi
distingtif.
Dengan demikian lebih mudah untuk mengekspor bentuk-bentuk
kosong ke seluruh dunia
daripada mengekspor bentuk-bentuk yang penuh dengan isi yang distingtif. Karena bentuk-bentuk yang kosong lebih kecil
kemungkinannya berkonflik
dengan isi-isi lokal. Selain itu bentuk-bentuk yang kosong karena minimalis, mereka mudah bereplikasi terus menerus dan lebih menguntungkan karena reproduksinya relatif murah. Contohnya yang mudah kita kenal adalah mall perbelanjaan, yang merupakan
struktur yang sebagian
besar kosong dan mudah direplikasi ke seluruh dunia
serta dapat diisi dengan barang-barang yang spesifik tanpa batas atau diisi something..
3.
Terdapat
empat tipe nothing yang sebagian ataupun semuanya kosong dari isi yang yang distingtif namun sedang mengglobal, yakni:
a) non-places atau setting yang sebagian besar kosong dari isi, misalnya
mall seperti yang telah
didiskusikan di atas;
b)
non-things, sepert kartu
kredit, di mana tidak banyak
berbeda dari kartu kredit seseorang dengan jutaan kartu kredit orang lain;
c)
non-people, atau jenis karyawan yang diasosiasikan dengan misalnya telemarketer
dan berinteraksi dengan semua konsumen dengan cara yang hampir sama dengan mengandalkan pada scripts;
d)
non-servis, misalnya yang disediakan oleh ATM di mana pelayanan
yang
disediakan sama, konsumen mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan layanannya, di mana hal
ini berbeda dengan karyawan teller bank.
4.
Untuk membedakan nothing dengan something, non-places dengan places, non-peolple
dengan people, non-services dengan
services,
tersebut terdapat lima hal yang
dapat
dilakukan. Dan, kutub sebelah kiri dari perbedaan ini adalah:ujung dari
kontinum “sesuatu” (something), sedangkan yang kanan adalah ujung “bukan sesuatu” (nothing)
a)
Unique ⎯ Generic, dan yang unik cenderung menjadi something. Misalnya Olden urg (1989)
telah menulis apa yang dinamakan “great
good places” seperti kedai dan kafe
local. Hal-hal
yang berhubungan dengan; makanan dan pelanggannya
berada pada ujung unik. Sedangkan gerai rantai fast-food jelas merupakan
contoh generic.
b)
Local-Ties ⎯ Lack of Local Ties. Ikatan
terhadap komunitas
local cenderung diasosiasikan dengan something, sedangkan kurangnya ikatan semacam itu
diasosiasikan dengan nothing.
c)
Temporally Specific ⎯ Timeless. Seperti halnya yang terikat dengan ruang, hal-hal yang teriakt dengan periode
waktu tertentu cenderung menjadi something, sedangkan yang tidak terikat dengan waktu tertentu cenderung menjadi nothing.
d)
Humanized ⎯ Dehumanized. Hal yang banyak memuat
hubungan antar manusia
cenderung menjadikan something, sedangkan yang kurang berhubungan dengan manusia itu cenderung nothing seperti konsep dehumanisasi.
e)
Enchanted ⎯ Disenchanted. Kontinum ini cenderung mengumpulkan semua yang sudah ada. Yang merupakan something cenderung mempunyai kualitas dan daya “magis” yang memikat, sedangkan yang nothing lebih memungkinkan bersifat tidak begitu memikat ataupun magis. Dengan demikian makanan yang diberikan kepada kita dari Domino dan dalam paket yang dapat dimasak dalam microwave untuk makan malam, tampaknya sedikit kemungkinannya
untuk membuat kita terpesona pada
makanan itu.
Sebaliknya makanan
yang dibuat
sendiri
oleh
ahlinya, memungkinkan akan lebih diminati
dan menarik
3. Teori Evolusi Sosial
Spencer
Dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology (1876-1896)
Spencer, seorang sosiolog Inggeris yang banyak menggunakan bahan etnogafi secara luas dan sistematis mengemukakan teorinya sebagai
berikut:
a. Masyarakat yang merupakan suatu organisme, berevolusi menurut pertumbuhan manusia,
seperti tubuh yang hidup, masyarakat bermula seperti kuman, berasal dari massa yang
dalam segala hal dapat dibandingkan dengan massa itu sebagian di antaranya akhirnya
dapat didekati. (Spencer dalam Lauer,
2003: 80).
b. Suku primitif berkembang melalui peningkatan
jumlah anggotanya, perkembangan itu mencapai
suatu titik di mana suatu suku terpisah menjadi beberapa
suku yang secara
bertahap timbul beberapa
perbedaan satu
sama lain. Perkembangan ini bisa terjadi seperti pengulangan
maupun terbentuk dalam proses yang lebih luas dalam penyatuan beberapa suku. Penyatuan ini terjadi tanpa melenyapkan pembagian yang sebelumnya
disebabkan oleh pemisahan
c. Pertmbuhan masyarakat tidak sekedar menyebabkan
perbanyakan dan penyatuan
kelompok, tetapi
juga
meningkatkan kepadatan penduduk atau meningkatkan
solidaritas, bahkan memejukan massa yang lebih akrab.
d.
Dalam
tahapan masyarakat yang belum beradab (un-civilised) itu bersifat homogen, karena mereka terdiri dari kumpulan manusia yang memiliki kewenangan,
kekuasaan, dan fungsi yang relatif
sama, terkecuali masalah jenis kelamin.
e. Suku
nomaden memiliki
ikatan,
karena
dipersatukan
oleh
oleh
ketundukan
kepada
pemimpin suku. Ikatan ini mengikat hingga mencapai masyarakat beradab yang cukup
diintegrasikan bersama ”selama 1000 tahun lebih”.
f. Jenis kelamin
pria, diidentikkan dengan
simbol-simbol yang menuntut kekuatan fisik
seperti; keprajuritan, pemburu, nelayan, dan lain-lain.
g.
Kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi munculnya keluarga yang sifatnya tidak tetap atau nomaden.
h. Wewenang
dan kekuasaan seseorang ditentukan oleh
kekuatan fisik,
kecerdikan seseorang dan selanjutnya kewenangan
dan kekuasaan tersebut
memiliki sifat yang diwariskan dalam keluarga tertentu.
i. Peningkatan kapasitas
juga
menandai
proses pertumbuhan masyarakat.
Organisasi-
organisasi sosial yang mula-mula masih samar-samar, pertumbuhannya mulai mantap
secara perlahan-lahan,
kemudian adat menjadi hukum, hukum menjadi semakin khusus dan
institusi sosial semakin terpisah berbeda-beda. ”Jadi
dalam sebaga hal memenuhi formula evolusi. Ada kemajuan
menuju: ukuran, ikatan, keanekaragaman bentuk dan
kepastian, yang semakin besar
(Spencer dalam Lauer,
2003: 81)
j. Perkembangan juga ditandai oleh adanya pemisahan unsur-unsur religius dan sekuler.
Begitu-pun sistem pemerintahan bertambah kompleks, dan
diferensiasi juga timbul
dalam organisasi sosial termasuk tumbuhnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang
ditandai oleh suatu pembagian kerja.
4. Teori Teknologi dan Ketinggalan Budaya (Cultural Lag) dari Ogburn
William F. Ogburn
yang
mendapat pendidikan
di Universitas
Columbia dan
menghabiskan sebagian besar
hidup
akademisnya di Iniversitas Chicago,
sumbangannya
yang apaling terkenal terhadap
bidang sosiologi adalah konsepnya tentang ketinggalan
budaya (cultural lag).
Konsep ini mengacu kepada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan
sosial dan pola=pola organisasi
sosial yang tertinggal di belakang (lag behing) perubahan-
perubahan dalam kebudayaan materiil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu ditandai oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan nonmaterial (Ogburn,
1964: 199-
280). Pemikiran-pemikiran Ogburn dapat
digolongkan dalam pendekatan perilaku
(behaviorisme), oleh karena itu Ogburn dalam karyanaya Social Change with Resp[ect to
Culture and Original Nature, mengemukakan:
a. Perilaku manusia merupakan produk warisan sosial atau budaya, bukan , dan bukan produk faktor-faktor bilogis yang diturunkan lewat keturunan.
b. Kenyataan sosial pada dasarnya terdiri atas pola-pola
perilaku individu yang nyata dan
konsekuensi-konsekuensinya. Pola-pola perilaku
nyata memperlihatkan suatu
tingkat keteraturan
yang tinggi
yang melahirkan penemuan-penemuan
baru
yang inovatif,
sedangkan konsekuensi-konsekuensinya adalah ketimpangan integrasi (malintegration)
atau ketegangan antara kebudayaan materi yang jauh lebih maju dengan kebudayaan non-materi yang tertinggal.
c. Perubahan-perubahan kebudayaan materil terbentang dari mulai dari penemuan awal
seperti perkakas tangan sampai ke komputer yang beroperasi
dengan cepat, dan satelit- satelit komunikasi. Sedangkan kebudayaan non-materil
seperti kebiasaan, tata
cara
organisasi sosial, yang akhirnya
berkonsekuensi harus menyesuaikan diri dengan
kebudayaan-kebudayaan materil. Namun karena adanya berbagai sumber yang menolak perubahan, proses penyesuaian ini selalu ketinggalan di belakang perubahan-perubahan
budaya materil. Akibatnya
adalah terjadinya
ketimpangan integrasi (malintegration)
atau ketegangan budaya antara budaya materil dan non-materil.
d.
Kebudayaan non-materil yang
tidak mampu
mengejar karena kecepatan
perubahan dalam kebudayaan materil terus-menerus melaju. Hasilnya adalah
suatu ketegangan
yang terus-menerus
meningkat antara
budaya
materil
dengan
non-materil akhirnya selalu menimbulkan ketertinggalan budaya (cultur lag) khususnya budaya non-materil
No comments:
Post a Comment