Tuesday, December 1, 2015

MENGENAL TEORI-TEORI SOSIOLOGI



Kebanyakan ilmu pengetahuan yang lebih tua, seperti ilmu-ilmu phisika dan kimia, kebanyakan dari bidang ilmu pengetahuan tersebut diterangkan oleh sejumlah Grand Theory yang sangat komplementer dan saling berhubungan yang diterima oleh semua spesialis dalam disiplin itu. Grand Theory adalah seluruh abstrak dan termasuk teori yang menjelaskan kebanyakan dari fakta dalam suatu disiplin dan menempatkan kebanyakan dari prinsip dan peraturan umum ke dalam suatu sistem terpadu. Contoh grand theory yang populer adalah teori tindakan sosial dan teori sistem sosial.

1.   Teori Tindakan Sosial dan Sistem Sosial dari Parsons

Teori   ‘tindakan   sosial’   Parsons,  sangat   dipengaruhi  oleh   pemikiran-pemikiran sosiolog sebelumnya seperti; Alfred Marshall, Vilfredo Pareto, Emile Durkheim, dan Max Weber, yang dituangkan dalam karyanya The Stucture of Social Action.(1937). Inti argumennya adalah bahwa: “keempat tokoh teoretisi tersebut akhirnya sampai pada suatu titik  temu  dengan  elemen-elemen dasar  untuk  suatu  teori  tindakan  sosial  yang  bersifat voluntaristik, walaupun mereka berbeda dalam titik tolaknya”. Kemudian dalam analisisnya Parsons  menggunakan kerangka  alat-tujuan (means-ends framework), yang  intinya:  (a) tindakan itu diarahkan pada tujuannya atau memiliki suatu tujuan; (b) tindakan terjadi dalam suatu situasi, di mana beberapa elemennya sudah pasti, sedangan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagai alat untuk menmcapai tujuan tersebut; (3) secara normative tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Dalam arti bahwa tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan paling fundamental. Elemen-elemen dasar dari suatu tindakan adalah; tujuan, alat, kondisi dan norma (Johnson, 1986, 106). Antara alat dan kondisi itu berbeda dalam hal di mana orang yang bertindak itu mampu menggunakan alat dalam usahanya mencapai tujuan; sedangkan kondisi merupakan aspek situasi yang dapat dikontrol oleh yang bertindak tersebut.

Sedangkan untuk teori sistem sosial, Parsons melihatnya bahwa kenyataan sosial dari suatu perspektif yang  sangat luas,  yang tidak  terbatas pada tingkat struktur sosial saja. Berulang  kali  ia  menunjuk  pendekatannya sebagai  suatu  teori  mengenai  tindakan  yang bersifat umum sebagaimana ia ungkapkan ide-idenya tersebut dalam karyanya Toward A General Theory of Action (1951a) bersama Edward A. Shils, dan The Social System (1951b) . Sistem sosial hanyalah sasalh satu dari sistem-sistem yang termasuk dalam perspektif keseluruhan; sistem kepribadian dan sistem budaya merupakan sistem-sistem yang secara analitis dapat dibedakan, juga termasuk di dalamnya. Seperti hanlnya dengan organisme perilaku. Dalam analisisnya lebih lanjut, sistem-sistem sosial terbentuk dari tindakan- tindakan sosial individu.

Dalam teori sistem sosial tersebut Parsons dan rekan-rekanya mengembangkan kerangka A-G-I-L (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latent Pattern Maintenance) (Johnson, 1986: 129-131), sebagai empat persayarat-persyaratan fungsional dalam semua sistem soail dikembangkan. Adaptation, memunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya baik itu yang bersifat ‘transformasi aktif dari situasi’ yang pada umumnya segi-segi situasi yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan ‘inflexible’ suatu kondisi yang tidak dapat ataupun sukar diubah. Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang berasumsi bahwa tindakan itu selalu diarahkan pada tujuannya terutama pada tujuan bersama para anggota dalam sustu sistem sosial. Integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam suatu sistem sosial. Sedangkan Latent Pattern Maintenance, menunjukkan pada berhentinya interaksi, baik itu karena letih ataupun jenuh, serta tunduk pada sistem sosial di mana dia berada.

Keempat persyaratan fungsional tersebut dipandang Parsons sebagai suatu keseluruhan yang juga terlibat dalam saling tukar lingkungannya. Lingkungan sistem sosial itu terdiri atas; lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya, dan organisme perilaku. Pendekatan fungsionalisme structural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji  melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut:

(1)      Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
(2)      Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bgian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal-balik.
(3)      Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah   equilibrium   yang   bersifat   dinamis: menanggapi   perubahan-perubahan yang  dating  dari  luar  dengan  kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal.
(4)      Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan- penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi   dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi.Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
(5)      Perubahan-perubahan di  dalam  sistem  sosial  pada  umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian, dsn yidsk secara revolusioner. Perubahan-perubahan yang terjadi secara secara drastic pada umumnya hanya mengenai bentuknya luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.

Namun untuk sosiologi, tidak sepenuhnya berlaku grand theory seperti itu, sebab belakangan ini juga banyak terjadi perubahan-perubahan. Walaupun mulanya ketika bidang sosiologi muncul, suatu pencarian untuk penjelasan tingkah laku manusia yang tunggal dan sesuatu   teori   penekanannya   yang   non-empirik   mendominasi   bidang   tersebut. Awal kehadiran para ahli sosiologi, seperti Auguste Comte dan para pengikutnya, pada umumnya mereka adalah orang-orang di  belakang meja (“sarjana salon”) dimana  mereka sebagai sosiolog tidak melalakukan riset empiris.

Sebaliknya,  dalam  sejarah  ringkas  sosiologi  di  samping  mempunyai  ahli  grand theory, juga memiliki peneliti-peneliti yang bersifat empiris ternama khusunya pada generasi kedua.. Seperti sarjana sosiologi George Homans, Paul F. Lazarsfeld, dan Robert K. Merton adalah  kedua-duanya ahli  teori  dan  penganut aliran  empirisme. Pada  saat  sekarang  ini semakin banyak ahli teori sosiologi yang melakukan penelitian empiris. Begitu juga tidak menutup  kemungkinan  para  ahli  sosiologi  akan  mungkin  bisa  merumuskan  perpaduan grand theory dan empirisme sekali waktu di masa mendatang.

2.  Teori Globalisasi ‘of Nothing dari George Ritzer

Dewasa ini kehadiran teori globalisasi begitu banyak menghiasi khasanah keberagaman teori-teori sosiologi. Sebagai contoh teori globalisasi Kellner tentang Techno- Capitalism, Anthony  Giddens  tentang  Runaway  Word  Globalization, Zygmunt  Bauman tentang Konsekuensi Glbalisasi, George Ritzer tentang Globalization of Nothing, Arjun Appadurai tentang teori Landscape dan lain-lain.
- Teori Globalisasi of Nothing dari George Ritzer Dalam tulisannya yang berjudul The Globalization of Nothing (2004), Ritzer mengemukakan bahwa:

1. Yang dimaksud ‘nothing’ oleh Rizer secara umum adalah bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara sentral yang  sebagian besar adalah kosong dari  isi  yang  distingtif. Dengan  demikian  nothing  berarti  bukan  sesuatu,  yakni  sesuatu  bukan  akibat  dari sesuatu yang lain., maka dari itu globalisasi cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia.

2.  Sebaliknya,  sesuatu  (something)  didefinisikan  sebagai  bentuk  yang  dibayangkan  dan dikontrol  secara  indigenous  yang  sebagian  besar  kaya  dalam  isi  distingtif.  Dengan demikian lebih mudah untuk mengekspor bentuk-bentuk kosong ke seluruh dunia daripada mengekspor bentuk-bentuk yang penuh dengan isi yang distingtif. Karena bentuk-bentuk yang kosong lebih kecil kemungkinannya berkonflik dengan isi-isi lokal. Selain itu bentuk-bentuk yang kosong karena minimalis, mereka mudah bereplikasi terus menerus dan lebih menguntungkan karena reproduksinya relatif murah. Contohnya yang mudah kita kenal adalah mall perbelanjaan, yang merupakan struktur yang sebagian besar kosong dan mudah direplikasi ke seluruh dunia serta dapat diisi dengan barang-barang yang spesifik tanpa batas atau diisi something..

3.   Terdapat empat tipe nothing yang sebagian ataupun semuanya kosong dari isi yang yang distingtif namun sedang mengglobal, yakni:
a)      non-places atau setting yang sebagian besar kosong dari isi, misalnya mall seperti yang telah didiskusikan di atas;
b)      non-things, sepert kartu  kredit, di  mana  tidak  banyak berbeda dari  kartu  kredit seseorang dengan jutaan kartu kredit orang lain;
c)      non-people, atau jenis karyawan yang diasosiasikan dengan misalnya telemarketer dan berinteraksi dengan semua konsumen dengan cara yang hampir sama dengan mengandalkan pada scripts;
d)     non-servis, misalnya yang disediakan oleh ATM di mana pelayanan yang disediakan sama, konsumen mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan layanannya, di mana hal ini berbeda dengan karyawan teller bank.
4.   Untuk membedakan nothing dengan something, non-places dengan places, non-peolple dengan  people,  non-services dengan  services,  tersebut terdapat lima  hal  yang  dapat dilakukan. Dan, kutub sebelah kiri dari perbedaan ini adalah:ujung dari kontinum “sesuatu” (something), sedangkan yang kanan adalah ujung bukan sesuatu” (nothing)
a)      Unique Generic, dan yang unik cenderung menjadi something. Misalnya Olden urg (1989) telah menulis apa yang dinamakan great good places seperti kedai dan  kafe  local.  Hal-hal  yang  berhubungan dengan; makanan  dan  pelanggannya berada pada ujung unik. Sedangkan gerai rantai fast-food jelas merupakan contoh generic.
b)      Local-Ties   Lack  of  Local  Ties.  Ikatan  terhadap  komunitas  local  cenderung diasosiasikan dengan something, sedangkan kurangnya ikatan semacam itu diasosiasikan dengan nothing.
c)      Temporally Specific Timeless. Seperti halnya yang terikat dengan ruang, hal-hal yang   teriakt   dengan   periode   waktu   tertentu   cenderung   menjadi   something, sedangkan yang tidak terikat dengan waktu tertentu cenderung menjadi nothing.
d)     Humanized Dehumanized. Hal yang banyak memuat hubungan antar manusia cenderung menjadikan something, sedangkan yang kurang berhubungan dengan manusia itu cenderung nothing seperti konsep dehumanisasi.
e)      Enchanted Disenchanted. Kontinum ini cenderung mengumpulkan semua yang sudah ada. Yang merupakan something cenderung mempunyai kualitas dan daya “magis yang memikat, sedangkan yang nothing lebih memungkinkan bersifat tidak begitu memikat ataupun magis. Dengan demikian makanan yang diberikan kepada kita dari Domino dan dalam paket yang dapat dimasak dalam microwave untuk makan malam, tampaknya sedikit kemungkinannya untuk membuat kita terpesona pada   makanan   itu.   Sebaliknya   makanan   yang   dibuat   sendiri   oleh   ahlinya, memungkinkan akan lebih diminati dan menarik

3. Teori Evolusi Sosial Spencer

Dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology (1876-1896) Spencer, seorang sosiolog Inggeris yang banyak menggunakan bahan etnogafi secara luas dan sistematis mengemukakan teorinya sebagai berikut:

a. Masyarakat yang merupakan suatu organisme, berevolusi menurut pertumbuhan manusia, seperti tubuh yang hidup, masyarakat bermula seperti kuman, berasal dari massa yang dalam segala hal dapat dibandingkan dengan massa itu sebagian di antaranya akhirnya dapat didekati. (Spencer dalam Lauer, 2003: 80).
b. Suku primitif berkembang melalui peningkatan jumlah anggotanya, perkembangan itu mencapai suatu titik di mana suatu suku terpisah menjadi beberapa suku yang secara bertahap  timbul  beberapa  perbedaan  satu  sama  lain.  Perkembangan ini  bisa  terjadi seperti pengulangan maupun terbentuk dalam proses yang lebih luas dalam penyatuan beberapa suku. Penyatuan ini terjadi tanpa melenyapkan pembagian yang sebelumnya disebabkan oleh pemisahan

c. Pertmbuhan masyarakat tidak sekedar menyebabkan perbanyakan dan penyatuan kelompok,   tetapi   juga   meningkatkan   kepadatan   penduduk   atau   meningkatkan solidaritas, bahkan memejukan massa yang lebih akrab.

d.   Dalam  tahapan masyarakat yang  belum  beradab  (un-civilised) itu  bersifat homogen, karena mereka terdiri dari kumpulan manusia yang memiliki kewenangan, kekuasaan, dan fungsi yang relatif sama, terkecuali masalah jenis kelamin.

e.   Suku  nomaden  memiliki  ikatan,  karena  dipersatukan  oleh  oleh  ketundukan  kepada
pemimpin suku. Ikatan ini mengikat hingga mencapai masyarakat beradab yang cukup diintegrasikan bersama ”selama 1000 tahun lebih”.

f.    Jenis kelamin pria, diidentikkan dengan simbol-simbol yang menuntut kekuatan fisik
seperti; keprajuritan, pemburu, nelayan, dan lain-lain.

g.   Kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi munculnya keluarga yang sifatnya tidak tetap atau nomaden.

h.   Wewenang   dan   kekuasaan   seseorang   ditentukan   oleh   kekuatan   fisik,   kecerdikan seseorang dan selanjutnya kewenangan dan kekuasaan tersebut memiliki sifat yang diwariskan dalam keluarga tertentu.

i.    Peningkatan  kapasitas  juga  menandai  proses  pertumbuhan  masyarakat.  Organisasi-
organisasi sosial yang mula-mula masih samar-samar, pertumbuhannya mulai mantap secara perlahan-lahan, kemudian adat menjadi hukum, hukum menjadi semakin khusus dan institusi sosial semakin terpisah berbeda-beda. ”Jadi dalam sebaga hal memenuhi formula evolusi. Ada kemajuan menuju: ukuran, ikatan, keanekaragaman bentuk dan kepastian, yang semakin besar (Spencer dalam Lauer, 2003: 81)

j.    Perkembangan juga ditandai oleh adanya pemisahan unsur-unsur religius dan sekuler.
Begitu-pun  sistem  pemerintahan  bertambah  kompleks,  dan  diferensiasi  juga  timbul dalam organisasi sosial termasuk tumbuhnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang ditandai oleh suatu pembagian kerja.

4. Teori Teknologi dan Ketinggalan Budaya (Cultural Lag) dari Ogburn

William  F.   Ogburn   yang   mendapat  pendidikan  di   Universitas  Columbia  dan menghabiskan sebagian besar  hidup  akademisnya di  Iniversitas Chicago, sumbangannya
yang apaling terkenal terhadap bidang sosiologi adalah konsepnya tentang ketinggalan budaya (cultural lag). Konsep ini mengacu kepada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola=pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behing) perubahan-
perubahan dalam kebudayaan materiil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu ditandai oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan nonmaterial (Ogburn, 1964: 199-
280).   Pemikiran-pemikiran   Ogburn   dapat   digolongkan   dalam   pendekatan   perilaku
(behaviorisme), oleh karena itu Ogburn dalam karyanaya Social Change with Resp[ect to
Culture and Original Nature, mengemukakan:

a.   Perilaku manusia merupakan produk warisan sosial atau budaya, bukan , dan bukan produk faktor-faktor bilogis yang diturunkan lewat keturunan.

b.   Kenyataan sosial pada dasarnya terdiri atas pola-pola perilaku individu yang nyata dan konsekuensi-konsekuensinya. Pola-pola  perilaku  nyata  memperlihatkan suatu  tingkat keteraturan  yang  tinggi  yang  melahirkan  penemuan-penemuan  baru  yang  inovatif,
sedangkan konsekuensi-konsekuensinya adalah ketimpangan integrasi (malintegration) atau ketegangan antara kebudayaan materi yang jauh lebih maju dengan kebudayaan non-materi yang tertinggal.

c.     Perubahan-perubahan kebudayaan materil terbentang dari mulai dari penemuan awal seperti perkakas tangan sampai ke komputer yang beroperasi dengan cepat, dan satelit- satelit  komunikasi.  Sedangkan  kebudayaan  non-materil  seperti  kebiasaan,  tata  cara
organisasi sosial, yang akhirnya berkonsekuensi harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan-kebudayaan materil. Namun karena adanya berbagai sumber yang menolak perubahan, proses penyesuaian ini selalu ketinggalan di belakang perubahan-perubahan
budaya  materil.  Akibatnya  adalah  terjadinya  ketimpangan integrasi  (malintegration)
atau ketegangan budaya antara budaya materil dan non-materil.

d.   Kebudayaan  non-materil  yang  tidak  mampu  mengejar  karena  kecepatan  perubahan dalam  kebudayaan materil  terus-menerus melaju.  Hasilnya  adalah  suatu  ketegangan
yang  terus-menerus  meningkat  antara  budaya  materil  dengan  non-materil  akhirnya selalu menimbulkan ketertinggalan budaya (cultur lag) khususnya budaya non-materil

No comments:

Post a Comment