Secara tematis
ruang lingkup,
sosilogi dapat dibedakan menjadi beberapa
sub- disiplin sosiologi, seperti: (1) soiologi pedesaan (rural sociology); (2) sosilogi industri (industrial sociology);
(3) sosiologi perkotaan
(urban sociology); (4) sosiologi medis (medical socilogy); (5) sosiologi
perempaun (woman sociology); (6) sosiologi militer (military socilogy);
(7) sosiologi keluarga (family socilogy); (8) sosiologi pendidikan (educational sociology); (9) sosilogi medis (medical sociology), (10) sosiologi seni (sociology of art).
Pertama, Sosiologi Pedesaan (Rural Ssocilogy): Jurusan yang pertama kali
menghususkan Sosilogi Pedesaan muncul di Amerika Serikat tahun 19-30-an, kemudian
muncul beberapa Akademi Land Grant yang dibentuk dalam wilayah kewenangan Departemen Pertanian Amerika Serikat untuk meneliti masalah pedesaan dan melatih ahli
sosiologi serta ekstensionis pedesaan untuk kerjasama lembaga-lembaga pemerintah beserta organisasi petani (Hightower,
1973). Adapun kerangka yang paling sering digunakan untuk mengenali berbagai temuan
empiris adalah gagasan entang
suatu
”kontinum pedesaan-
perkotaan”, yang berusaha
menjelaskan
berbagai pendekatan
pola sosial dan kultural
dengan mengacu kepada tempatmasyarakat tersebut disepanjang kontinum yang bergerak dari tipe pemukiman yang paling kota (the most urban) hinga yang paling desa (the most
rural). Selanjutnya model penelitiannya terfokus pada masalah-masalah
seperti penyebaran inovasi teknologi,
kesenjangan
antara gaya hidup masyarakat kota dan desa, pola mobilitas pendidikan dan pekerjaan, dampak program
pembangunan masyarakat. Berbagai dimensi
tersebut dikaji dengan menggunakan
metodologi yang berdasarkan kuesioner, teknik wawancara formal, dan analisis kuantitatif
(Long, 2000: 941).
Pada mulanya, terutama
sejak tahun 1950-an dan 1960-an, terdapat begitu banyak
penelitian sosiologi
pedesaan yang dilaksanakan menurut skema konseptual
tersebut
demikian suksesnya sehingga diadaptasi oleh berbagai negara. Di Eropa masuk
dalam
bentuk ”Mental
Marshall Aid”, kemudian penelitian menyebar ke Amerika Latin dan Asia (Hofstee, 1963).
Bahkan pendiri berbagai asosiasi
internasional yang menghususkan pada
sosilogi pedesaan, seperti International
Rural Sociological Association(IRSA), menyelenggarakan
konres dunia setiap empat tahun skali, yang sangat berjasa dalam membangkitkan antusiasme dan sumber daya institusional para anggotanya.
Namun sejak tahun 1960-an,
terminologi ”kontinum pedesaan-perkotaan”
mengalami kemandekan teoretis. Beberapa kajian membuktikan
bahwa kesenjangan pola
sosial dan kultural tersebut, tidak dengan sendirinya sama dengan lingkungan spasial
atau
ekologi sebagaimana dikatakan Pahl dalam tulisannya The Rural-Urban
Continum (1966). Selain juga kajian ini gagal memecahkan persoalan kondisi struktur yang lebih luas, yang
mempengaruhi kecenderungan para petani merespons
kesempatan-kesempatan baru; di
samping itu juga tidak ada analisis struktur
dan isi jaringan sosial yang di antara petani dan
ekstensionis yang mungkin
mempengaruhi
pola adopsi (Rogers
dan
Shoemaker,
1971). Akibat berbagai
keterbatasannya tersebut,
ditambah dengan diabaikannya
karya perbandingan mengenai bentuk berbagai produksi pertanian, dampak berbagai kebijakan
pemerintah terhadap pertanian, dan masalah ketidakserasian
regional, merupakan disiplin
ilmu ini menjadi lamban perkembangannya (Long, 2000_941-942). Salah aspek aspek yang
paling mengganggu
dalam sejarah
sosiologi
pedesaan ni
adalah kegagalan
ilmu
ini
mengembangkan analsis sistematis tentang produksi pertanian, pada tingkat perusahaan maupun struktur agraria (Newby, 1980). Sehingga nasib sosiologi
pedesaan saatini terperangkap dalam sejumlah kontroversi dan harapan.
Sepanjang sejarahnya , sosiologi
pedesaan
tidak
pernah dapat secara efektif menyatakan statusnya sebagai disiplin ilmu
tersndiri yang memiliki obyek penyelidikan dan metode penjelasan yang khusus.
Jika tradisi awal mengasumsikan bahwa ada perbedaan menyolok antar lokasi pedesaan yang membuat lokasi-lokasi itu mempunyai perbedaan dalam hal sosial dan budaya dibandingkan dengan
bentuk-bentuk kehidupan sosial perkotaan. Namun akhirnya makin banyak peneliti yang
berpandangan bahwa lokasi pedesaan hanya sekedar entitas empiris atau geografis tempat
seseorang bekerja.
Keadaan desa tidak mensyaratkan teori
atau
implikasi metodologis
khusus untuk penelitian, tetapi sangat tergantung
pada
jenis masalah teoretis dan metodologis yang dikandungnya, dan tidak semata-mata didasarkan pada kenyataan yang sama-sama memiliki pengalaman pedesaan (Long, 2000: 942).
Kedua, Sosiologi Idustri: Kelahiran bidang ini mendapat inspirasi dari pemikiran- pemikaran Marx, Durkheim, dan Weber, walaupun secara
formal siologi industri lahir pada kurun waktu antara Perang Dunia-I dan II, serta secara matang tahun 1960-an
dan awal
tahun 1970-an (Grint,
2000: 488). Dari pemikiran Marx setidaknya teori revolusi proletariat dari tumbuhnya
alienasi serta eksploitasi
ekonomi, pengaruhnya sanga dirasakan pada periode
antara Perang Dunia I dan II, manakala terjadi lonjakan pengangguran dan krisis
ekonomi dunia, walaupun
realitanya pengaruh ini kurang dominan. Kemudian
gagasan
Durkheim
yang
ditulis dalam buku Division of Labour (1933), memberikan kontribusi yang berarti dalam sosiologi
industri terutama dengan konsep dan teorinya tentang norma dan bentuk
solidaritas soaial
organik
dan
mekanik-nya. Sedangkan dari pemikiran
Weber,
merupakan jantung dalam pembentukan sosilogi industri
Dengan menentang penjelasan materialis
Marx mengenai kemunculan kapitalisme, Weber (1948) berpandangan
bahwa gagasan-gagasan juga memainkan peran penting, khususnya yang berkaitan dengan
etka
kerja Protestan.
Namun, yang paling banyak dibicarakan analisis Weber tersebut adalah tentang
birokrasi, dan signifikansi dari dominannya bentuk-bentuk otoritas ”legal-formal”,
yakni otoritas yang legitimasinya berakar pada aturan-atauran dan prosedur formal (Grint,
2000: 488).
Dalam perkembangannya, sosiologi industri
sejak tahun 1980-an terdapat empat
tema
baru yang muncul dan dalam riset-riset sosiologi industri. Pertama, sosiologi industri yang
hanya menekankan gaya tradisional yang patriarkhal, memberikan peluang munculnya
lini baru yakni feminisme
dalam riset. Dalam pendekatan ini, bahwa ’kerja’ bisa direduksi menjadi
pekerjaan orang-orang krah biru di pabrik-pabrik diperlawankan, dan
dikontraskan, dengan kerja domestik yang idak bergaji dan meningkatnya
jumlah wanita part-timer yang
mengerjakan pekerjaan
klerikal dan
jasa. Lebih jauh,
gagasan-gagasan
bahwa teknologi bersifat netral dan determnistik, dipelihatkan sebagai unsur penting dalam
mempertahankan kesinambungan patriarkhal (Cocburn, 1983; Wajcman, 1991). Kedua,
runtuhnya komunisme
di Eropa Timur, adanya globalisasi industri, pergeseran
dari
Fordisme (keadaan ekonomi sesuasai perang) menuju post-Fordisme, perkembangan- perkembangan teknologi pengawasan dan bangkitnya individualisme tanpa ikatan tahun
1980-an, mengantarkan bangkitnya
minat pada peran norma dan dominasi diri yang
seringkali dikaitkan dengan gagasan-gagasan
Foucault dan tokoh pasca modernis lainnya
(Red dan Hughes, 1992). Ketiga, perkembanagan teknologi informasi dan aplikasi-
aplikasinya di bidang manufaktur serta perdagangan, telah mendorong bangkitnya kembali
minat untuk menerapkan gagasan-gagasan konstruktivis
sosial dari sosiologi ilmu pengetahuan serta
teknologi ke sosiologi
kerja
dan
industri
(Grint,dan Woolgar, 1994). Keempat, asumsi bahwa pekerjaan dan produksi merupakan
kunci identitas sosial tentang argumen-argumen bahwa pola-pola konsumsi merupakan sumber identitas individual (Hall,
1992).
Ketiga, Sosiologi Medis: ’Sosiologi Medis’ merupakan bagian dari sosiologi yang
kajiannya memfokuskan pada pelestarian ilmu kedokteran khususnya pada masyarakat modern (Amstrong, 2000: 643). Bidang ini berkembang
pesat pada sejak tahun 1950-an sampai sekarang. Setidak-tidaknya ada dua
alasan
yang mendorong
pesatnya perkembangan
bidang ini; pertama, berhubungan dengan asumsi-asumsi dan kesadaran bahwa problem
yang terkandung dalam perawatan
kesehatan masyarakat modern adalah sebagai bagian
integral masalah-masalah sosial. Kedua, meningkatnya
minat terhadap pengobatan dalam aspek-aspek sosial
dari kondisi sakit (illness), terutama berkaitan dengan psikiatri
(berhubungan dengan penyakit jiwa),
pediatri (kesehatan anak), praktek umum (pengobatan keluarga) geriatrik (perawatan usia lanjut) dan pengobatan komunitas
(Amstrong, 2000: 643-644).
Beberapa tulisan
yang menghiasi
kelahiran sosiologi
medis tahun 1950-an, adalah
Journal of Health
and
Human
Behavior, yang
kemudian diubah pada tahun 1960-an menjadi Journal or Health and Social Behavior. Pada awal kelahirannya yang dominan adalah perspektif
medis, psikologi, dan psikologi sosial.
Dalam perspektif medis, terutama
pada epidemiologi sosial,
sebagai contoh, yang berusaha mengidentifikasi peran dari faktor-
faktor soaial terhadap berjangkitnya penyakit menular, yang dilakukan oleh para ahli medis dan sosiologi. Hasil kajian awal menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh dari struktur sosial
(kelas sosial) terhadap aetiologi
dari penyakit psikiatris
maupun organis (Amstrong, 2000:
644).
Kemudian Freidson menulis buku Profesion of Medicine (1970) yang berisikan
tawaran suatu sintesis dari berbagai kajian awal mengenai profesi, pengklasifikasian,
organisasi medis,
persepsi pasien dan sebagainya. Khasanah
baru
ini
merupakan teks penting
dalam menetapkan identitas formal sosiologi medis ke arah
baru.
Sebab, pada dasarnya baik kondisi sakit (illnes) maupun penyakit
(disease) merupakan konstruksi realita sosial,
refleksi dari organisasi
sosial, kepentingan profesional, hubungan kekuasaan, dan
sebagainya. Dalam hal ini prestasi Friedson
(1970) adalah membebaskan sosiologi medis dari batasan-batasan yang berdarkan kategori medis, serta mengungkapkan pengalaman pasien
dan pengetahuan medis hingga analisis yang lebih mendalam dan sistematis.
Dalam perkembangan
selanjutnya, khususnya tahun 1990-an,
minat terhadap studi detail kehidupan
sosial juga dilibatkan yang meneliti ekspresi
dalam pengalaman
sakit
pasien. Pandangan
pasien mengenai kondisi sakit ditelaah
sebatas sebagai bahan tambahan dari perilaku sakit berdasrkan posisi pasien itu sendiri.
Konsekuensi logis penerimaan
pendapat tersebut sama bermanfaatnya dengan bidang medis, adalah munculnya kesadaran
bahwa pengetahuan
medis tersebut bisa menjadi obyek penting dalam sosiologi.
Ini berarti pengetahuan medis bisa dieksplorasi
tidak hanya sebagai
suatu bentuk kebenaran pengetahuan tertinggi, tetapi sebagai suatu sarana menuju masyarakat yang bisa
dikendalikan, dialienasi, atau didepolitisasi dalam penyelenggaraan kehidupan mereka. Di
mana pengetahuan dan praktik medis memainkan peran penting dalam menciptakan
tubuh yang bisa dianalisis dan dikalkukasi masyarakat modern. Namun demikian, tidak berarti sosiologi medis terbebaskan dari ilmu kedokteran,
sebab terdapat begitu banyak ikatan dan
aliansi untuk hal tersebut. Sekarang
ini banyak para ahli sosiologi medis dipekerjakan oleh
institusi-institusi medis atau pada
tugas-tugas mengandung unsur
medis bahkan
upaya
memperbaiki (ameliorate) pasien yang menderita
(Amstrong, 2000: 646).
Keempat, Sosiologi Perkotaan:
Sosiologi perkotaan adalah studi sosiologi yang
mernggunakan berbagai statistik
di
antara populasi dalam kota-kota
besar.
Kajiannya
terutama di pusatkan pada studi wilayah perkotaan di mana zone industri, perdagangan dan
tempat tinggal terpusat. Praktek ini menerangkan pengaruh penggunaan tata ruang dan
lingkungan kota besar dalam beberapa lokasi atau area kemiskinan sebagai jawaban atas beberapa kultur, etnis, dan bahasa yang berbeda, suatu mutu hidup yang rendah, beberapa
kelompok kesukuan berbeda dan suatu standard perwalian menjaga rendah bahwa semua
jumlah ke disorganisasi sosial.
Sosiologi perkotaan
Baru dimulai di Eropa pada awal 1970s dan kemudian menyebar kepada Amerika Serikat.
Hal itu juga mempengaruhi studi masyarakat kota di Jepang. Artikel ini menguji
perubahan debat
yang sudah
terjadi Sosiologi Urban /Perkotaan
berkenaan selama pengenalannya
ke
Jepang dalam akhir tahun 1970-an. Selama duapuluh
tahun sejak pengenalannya
dari
Barat dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Tahapan yang
pertama periode dari 1977 sampai
1985, ketika sosiologi
urban Perancis, terutama
sekali
teori Manuael Castell pernyataannya
sangat berpengaruh. Tahapan yang kedua, dari 1986 sampai 1992, memusatkan pada teori pergerakan sosial dan konsep global dalam kota besar
dalam suatu konteks pembaruan kota-kota di Jepang utamanya. Tahapan yang ketiga, dari
1992 sapai sekarang, ditandai
oleh suatu perubahan
bentuk Sosiologi Perkotaan dalam suatu teori
ruang kemasyarakatan
di bawah globalisasi yang telah dengan berat mempengaruhi dengan pekerjaan
David Harvey (Kazutaka Hashimoto, 2002). Beberapa tema yang relevan
dalam kajian sosiologi urban tersebut, di antaranya populasi, geopolitik, ekonomi dll.
Mazhab Chicago adalah suatu mazhab yang berpengaruh besar dalam studi sosiologi
perkotaan ini. Di samping setelah mempelajari
kota-kota besar pada awal abad 20, Mazhab
Chicago masih memiliki peranan penting. Banyak dari penemuan mereka telah
berharga
maupun yang ditolak,
tetapi pengaruh kekal Mazhab Chicago tetap dapat ditemukan dalam
pengajaran masa kini.
Deskripsi Sosilogi
Perkotaan
Baru: Perwakilan
suatu kontribusi utama
kepada
bidang, Tanda
pengarang Mark Gottdiener dan
Ray
Hutchison
(2006) menyajikan teks
terobosan mereka di (dalam) suatu edisi baru ketiga,
sekarang dengan
sepenuhnya meninjau kembali dan mengefektifkan untuk menyediakan para siswa dengan suatu yang
mengandaskan padat
pada
topik
itu.
Buku
diorganisir di sekitar suatu
terintegrasi paradigma--the sociospatial perspective--which
mempertimbangkan peran itu yang
dimainkan oleh faktor sosial seperti ras, kelas, jenis kelamin, gaya hidup, ekonomi, kultur, dan politik pada pengembangan area metropolitan. Studi kasus baru seluruh teks menghadirkan pekerjaan yang paling terbaru di dalam bidang, seperti halnya terminologi kunci dan diskusi mempertanyakan pada ujung
bab masing-masing. tambahan Baharui meliputi diskusi globalism, suburbanisasi, daerah yang multi-centered sebagai format berkenaan dengan kota yang baru, urbanism yang baru, dan perspektif
kritis pada perencanaan dan kebijakan.
Di AS dan UK, "penduduk
kota" adalah sering digunakan
sebagai suatu eufemisme untuk menguraikan loncatan kultur modern atau subsets (kumpulan bagian) kultur hitam;
yang menjadi penggambaran kelompok sebagai tipe suku bangsa penduduk kota. Hal itu dapat
juga mengacu pada semakin besar ketersediaan tentang sumber daya budaya (seperti
seni, teater, peristiwa, dll) dibandingkan dengan area pedesaan atau di pinggiran kota.
Di dalam sosiologi dan, kemudian,
ilmu kriminologi, Mazhab Chicago
(kadang- kadang dilukiskan
sebagai
mazhab ekologis) mengacu
pada
hal yang
pertama
muncul
sepanjang 1920-an
dan 1930-an spesialisasi sosiologi perkotaan, dan riset ke dalam
lingkungan perkotaan oleh teori kombinasi lingkungan dan bidang pekerjaan etnografi
di Chicago, sekarang diterapkan di tempat lain. Sementara itu menyertakan sarjana
pada beberapa Chicago Universitas Area, istilah adalah sering digunakan
dengan dapat
dipertukarkan untuk mengacu pada Universitas Sosiologi Chicago's
Department-One yang
paling tua dan salah satu dari yang paling bergengsi. Setelah
Perang Dunia II, "Ke dua
Mazhab Chicago" bangkit yang anggotanya menggunakan interaksionisme simbolis
mengkombinasikan
dengan metoda riset lapangan, untuk menciptakan suatu badan pekerjaan baru. Karena suatu sejarah yang menyeluruh
Mazhab Chicago, lihat Martin Bulmer
(1984) dan Lester Kurtz (1984).
Peneliti yang utama di mazhab ini mencakup Ernest Burgess,
Ruth Shonle Cavan,
Edward Franklin Frazier, Everett Hughes, Roderick D. Mckenzie, George Herbert Mead,
Robert E. Park, Walter C. Reckless, Edwin Sutherland, W. I. Thomas,
Robert E. Park, Walter
C. Reckless, Edwin
Sutherland, W. I. Thomas, Frederic Thrasher, Louis Wirth, Znaniecki
Florian (Wikipedia, 2002).
Kelima, Sosiologi Wanita: Lahir dan berkembangnya sosiologi wanita secara perintisannya sejalan dengan perkembangan gerakan feminisme
yang dipelopori oleh Mary
Wollstonecraft
dalam bukunya A Vindication of The Right of Women (1779), kendati akar-
akar historisnya dapat dilacak sejak lahirnya sosiologi
sebagai disiplin akademik. Sosiologi wanita merupakan suatu perspektif menyeluruh tentang keanekaragaman pengalaman yang terstruktur bagi kaum wanita. Dengan mendefinisikan sosiologi wanita dalam arti pola-pola
ketidakadilan
yang terstruktur,
khususnya
kerangka
stratifikasi
jender. Di samping itu secara ekplisit adanya pengintegrasian penelitian yang progresif mengenai peran jender dari disiplin sosiologi. Bidang
kajian ini bergerak
kearah
suatu penilaian sistematis tentang
seluruh wanita, termasuk wanita
kulit berwarna, wanita kelas pekerja, wanita lanjut usia, dan sebagainya. Singkatnya yang dilakukan oleh kaum wanita, ialah mengembangkan suatu
sosiologi oleh, dan untuk wanita
(Ollenburger dan Moore,
1996: v).
Dilihat dari perspektif pendorong teori sosiologi wanita tersebut, terdiri atas tiga kelompok kontributor pemikiran sosiologi utama yang terpilih.
Pertama, kelompok teoretisi positivis/fungsionalis, yang menegaskan bahwa tatanan “alamiah” dominasi laki-laki sebagai
suatu perbedaan terhadap argumen-argumen mengenai “hak-hak”
kaum wanita. August
Comte percaya bahwa wanita “secara konstitusional” bersifat inferior terhadap laki-laki,
karena kedewasaan mereka berakhir
pada
masa
kanak-kanak. Oleh karena itu Comte
percaya bahwa wanita menjadi subordinat laki-laki manakala ia menikah. Kedua, kelompok
para teoretisi konflik, yang melukiskan sistem-sistem penindasan yang secara sistematis
membatasi kaum wanita. Karl Marx melihat masyarakat secara konstan berubah
komposisinya; kekuatan-kekuatan antitesis menyebabakan
perubahan sosial melalui
ketegangan-ketegangan dan perjuangan antarkelas yang bertentangan.
Karena itu kemajuan
sosial, diisi oleh perjuangan dan upaya keras yang membuat konflik
ssosial menjadi inti dari
proses sejarah.
Di
sinilah Marx menulis
mengenai eksploitasi tenaga
kerja
yang
menimbulkan alienasi dan pembentukan kelas yang saling berlawanan. Dalam Tulisan Marx
dan Engels (1970) mereka menulis tentang wanita, sebagai alat produksi sebagai berikut:
Tetapi komunis
anda akan memasukkan komunitas wanita,
mengutuk
semua borjuis secara serempak.
Seseorang borjuis melihat istrinya
sebagai alat produksi belaka. Ia mendengar bahwa alat-alat produksi biasanya
dieksploitasi; dan tentu
saja
tidak ada kesimpulan lain, apa yang biasa terjadi pada kebanyakan alat produksi, menimpa pula pada kaum wanita. Ia tidak perbah
menyangsikan
bahwa
tujuan
sesungguhnya
adalah menjauhkan status wanita sebagai alat produksi belaka.
Kelompok ketiga, adalah kelompok alternatif,
yakni kelompok aktivis “karya sosoal dan interaksionis”. Kelompok ini dipimpin oleh Jane Addams yang bermukim di
pemukiman kumuh Chicago West Side dari tahun 1800-an dan awal 1900-an (Addams, 1910). Yang membuka
Hull House pada tahun 1889, mendahulukan
pembukaan Universitas Chicago
tahun 1892.
Model
pemukiman
tersebut
menurut Deegan dalam (1988: 6)
adalah
egalitarian, dominasi kewanitaan, dan
pragmatis. Jaringan kerja kerja para aktivis
sosial dan akademikus yang sering
mengunjungi Hull
House, termasuk John Dewey dan
George Herbert Mead, banyak memberikan
kontribusi pada perkembangan pragmatisme Chicago yang menggabungkan ilmu pengetahauan obyektif pengamatan dengan isu-isu etik dan moral
untuk menghasilkan suatu masyarakat adil dan bebas” (Deegan,1988: 6)
Keenam, Sosiologi Militer: Bidang kajian ini menyoroti angkatan bersenjata sebagai suatu organisasi bertipe khusus dengan fungsi-fungsi sosial spesifik (Bredow, 2000:
664). Fungsi-fungsi tersebut bertolak dari sutu tujuan organisasi keamanan dan sarana-
saranya, kekuatan, serta kekerasan. Sebetulnya masalah-masalah seperti
itu sudah lama
didiskusikan oleh para sosiolog seperti Comte maupun Spencer. Akan tetapi secara formal studi-studi sosiologi militer
tersebut baru dimulai selama Perang Dunia II. Kajian yang paling
awal dilakukan Reseaarch Branch
of Information and Education of the Armed Forces
antara tahun 1942-1945, yang kemudian dipublikasikan (Stouffer, 1949). Sosiologi militer tersebut
terus berkembang pesat
khususnya
di
Amerika Serikat, yang menurut Bredow (2000: 665),
terdapat lima bidang utama kajian sosiologi militer.
Pertama; problem-problem
organisasi internal, yang menganalisis proses-proses dalam kelompok kecil dan ritual militer dengan tujuan untuk mengidentifikasi problem- problem disiplin
dan
motivasi
serta
menguraikan cara-cara
subkultur
militer
dibentuk.
Kedua; problem-problem organisasional internal dalam pertempuran; di mana dalam hal ini
dianalisis termasuk seleksi para petinggi militer, kepangkatan,
dan evaluasi motivasi
pertempuran. Ketiga; angkatan bersenjata dan masyarakat, yang mengkaji tentang citra profesi yang berkaitan dengan dampak perubahan sosial dan teknologi, profil rekrutmen
angkatan bersenjata, problem-problem pelatihan
dan pendidikan tentara, serta peran wanita dalam angkatan bersenjata. Keempat; militer dan politik:
Dalam hal ini dianalisis
ada suatu perbandingan bahwa pada demokrasi
Barat
riset
militer, terfokus
pada
kontrol
politik
terhadap jaringan militer, kepentingan-kepentingan
ekonomi dan administrasi lainnya. Namun bagi negara-negara berkembang, memfokuskan berbagai sebab dan konsekuensi
dari kudeta militer
yang diperankannya dengan membawa atribut-atribut pembangunan dan
“Praetorisme” (bentuk yang biasanya diterapkan oleh militerisme negara berkembang).
Terakhir; angkatan bersebjata
dalam sistem internasional.
Dalam hal ini dianalsisis tentang aspek-aspek
keamanan
nasional dan
internasional disertai
peralatan/perlengkapan dan
pengendaliannya, serta berbagai operasi pemeliharaan perdamaian internasional.
Berikutnya bidang yang ketujuh Sosiologi Agama. Sosiologi
agama terutama semata studi praktek, struktur sosial, latar belakang historis, pengembangan, tema universal, dan
peran agama di (dalam) masyarakat. Ada penekanan tertentu atas timbulnya peran agama
dalam hampir semua masyarakat di atas bumi saat ini dan sepanjang/seluruh sejarah yang
direkam. Sarjana sosiologi
agama mencoba untuk menjelaskan efek masyarakat itu pada
pada agama dan efek agama terhadap masyarakat; dengan kata lain, hubungan yang bersifat
dialektis antar merekaagama
ini terutama tertuju pada studi praktis,
struktur sosial, latar
belakang historis, perkembangan,
tema universal, dan peran agama dalam masyarakat. Ada
penekanan tertentu pada terulang peran agama dalam hampir
semua masyarakat di atas
bumi saat ini dan sepanjang;seluruh
sejarah direkam. Sarjana sosiologi agama mencoba
untuk menjelaskan
efek
masyarakat itu pada pada agama dan efek agama terhadap masyarakat; dengan kata lain, hubungan yang bersifat dialektis antar mereka (Wikipedia,
2002).
Kedelapan, Sosiologi Pendidikan (Sociology of Education): Merupakan bidang kajian sosiologi is associated with the concept, educational
sociology. For that reason any discussion of a sosiology of education which
this paper proposes to define must take into
consideration the development of educational sociology. At the turn of the present century, there
was considerable enthusiasm for the development of new discipline or at least a
branc of sociology to be known as educational sociology. By 1914, as many as sixteen
institutions were offering courses called educational
sociology. In the following period
numerous books carrying
some type of educational
sociology title came off the press. These involved various concepts of the relationship
between sociology and education. (Sosiologi
dihubungkan dengan konsep, sosiologi bidang pendidikan.
Karena itu memberi alasan
manapun diskusi suatu sosiology pendidikan ini yang mengusulkan untuk menggambarkan harus
mempertimbangkan dengan seksama pengembangan
tentang sosiologi bidang pendidikan. Di putaran abad saat ini, ada gairah pantas dipertimbangkan untuk
pengembangan disiplin baru atau sedikitnya suatu branc sosiologi
untuk dikenal sebagai
sosiologi bidang pendidikan. Dengan 1914,
sebanyak enambelas institusi sedang menawarkan kursus sosiologi bidang
pendidikan. Pada periode yang berikut banyak buku
yang membawa beberapa
sebutan/judul sosiologi bidang pendidikan terlepas dari dari
tekanan itu. Ini melibatkan berbagai konsep
hubungan antara sosiologi dan pendidikan)
Kesembilan Sosilogi Seni: Istilah “sosiologi seni” (sociology of art) digunakan dari sosiologi seni-seni
(sociology of arts)
atau sosiologi seni dan literatur
(sociology of art and
literature). Sedangkan sosiologi
seni-seni visual relatif jarang dikembangkan
daripada sosiologi literatur, drama, maupun film. Implikasinya
sifat generik dari bidang
kajian ini mau tidak
mau menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam analisisnya, karena tidak selalu
terdapat hubungan linier antara musik dan novel dengan konteks atau politiknya (Wolff,
2000: 41). Namun demikian sosiologi seni, dapat dikatakan sebagai
wilayah kajian yang cair,
karena di dalamnya tidak ada suatu model analasis atau teori yang dominan.
Beberapa pendekatan
yang
banyak digunakan di Eropa dan Amerika memang ada perbedaaan. Sebagai contoh, di Inggeris dan Eropa lainnya, pendekatan Marxis dan non- Marxis
masih ada pengaruhnya
hingga tahun 1970-an. Sebaliknya
sosiologi seni di Amerika
Serikat yang sering kali dinamakan sebagai pendekatan produksi-budaya (production-of-
culture) maupun
mainstream
analisis
sosiologi,
memusatkan diri perhatiannya pada institusi dan organisasi produksi-budaya (Kamerman dan Martorella, 1983; Becker, 1982). Dalam tradisi Marxis para ahli seni bergerak dari metafora-metafora sederhana yakni basis-
basis dan
suprastruktur yang mengandung bahaya sikap reduksionis ekonomi terhadap budaya, dan beranjak melihat literatur-literatur serta seni semata-mata sebagai “pencerminan” faktor-faktor klas atau ekonomi. Karena itu karya-karya pengarang Gramsci,
Adorno, dan Althusser
menjadi penting dalam penyempurnaan
model
yang bertumpu pada level-level kelompok
sosial antara kesadaran individual
dan
pengalaman spesifik tekstual (Wolff, 2000: 41-42)
Hal ini berbeda dengan pendekatan sosiologi seni ‘produksi-budaya’ yang sering
mendapat kritik karena
dianggap
mengabaikan produk budaya itu sendiri.
Pendekatan
‘produksi-budaya’ (production-of-culture) memfokuskan
pada masalah
hubungan-
hubungan sosial di mana karya seni itu diproduksi.
Para
ahli sosiologi seni melihat peranan para “penjaga
gawang” seperti; para penerbit,
kritikus, pemilik galeri dalam memperantarai seniman
dan masyarakat, hubungan-hubungan sosial dan proses pengambilan keputusan di suatu lembaga akademi seni maupun perusahaan
opera, serta mengenai hubungan antara
produk-produk budaya tertentu seperti
fotografi di mana
karya itu dibuat
(Rosenblum, 1978; Alder, 1979). Kebanyakan
yang
menjadi fokus kajiannya di kebanyakan negara kecuali di
Inggeris (studi literatur), yakni pada seni-seni
pertunjukkan yang menyajikan kompleksitas interaksi sosial
yang dianalisis.
No comments:
Post a Comment