Tuesday, December 1, 2015

Ruang Lingkup Sosiologi

Secara  tematis  ruang  lingkup,  sosilogi  dapat  dibedakan  menjadi  beberapa  sub- disiplin sosiologi, seperti: (1) soiologi pedesaan (rural sociology); (2) sosilogi industri (industrial sociology); (3) sosiologi perkotaan (urban sociology); (4) sosiologi medis (medical socilogy); (5) sosiologi perempaun (woman sociology); (6) sosiologi militer (military socilogy); (7) sosiologi keluarga (family socilogy); (8) sosiologi pendidikan (educational sociology); (9) sosilogi medis (medical sociology), (10) sosiologi seni (sociology of art).
Pertama, Sosiologi Pedesaan (Rural Ssocilogy): Jurusan yang pertama kali menghususkan Sosilogi Pedesaan muncul di Amerika Serikat tahun 19-30-an, kemudian muncul beberapa Akademi Land Grant yang dibentuk dalam wilayah kewenangan Departemen Pertanian Amerika Serikat untuk meneliti masalah pedesaan dan melatih ahli sosiologi serta ekstensionis pedesaan untuk kerjasama lembaga-lembaga pemerintah beserta organisasi petani (Hightower, 1973). Adapun kerangka yang paling sering digunakan untuk mengenali berbagai  temuan  empiris  adalah  gagasan  entang  suatu  kontinum pedesaan- perkotaan”,  yang  berusaha  menjelaskan  berbagai  pendekatan  pola  sosial  dan  kultural dengan mengacu kepada tempatmasyarakat tersebut disepanjang kontinum yang bergerak dari tipe pemukiman yang paling kota (the most urban) hinga yang paling desa (the most rural). Selanjutnya model penelitiannya terfokus pada masalah-masalah seperti penyebaran inovasi teknologi, kesenjangan antara gaya hidup masyarakat kota dan desa, pola mobilitas pendidikan dan pekerjaan, dampak program pembangunan masyarakat. Berbagai dimensi




tersebut dikaji dengan menggunakan metodologi yang berdasarkan kuesioner, teknik wawancara formal, dan analisis kuantitatif (Long, 2000: 941).
Pada mulanya, terutama sejak tahun 1950-an dan 1960-an, terdapat begitu banyak penelitian  sosiologi  pedesaan  yang  dilaksanakan  menurut  skema  konseptual  tersebut
demikian  suksesnya  sehingga  diadaptasi  oleh  berbagai  negara.  Di  Eropa  masuk  dalam bentuk Mental Marshall Aid”, kemudian penelitian menyebar ke Amerika Latin dan Asia (Hofstee, 1963). Bahkan pendiri berbagai asosiasi internasional yang menghususkan pada
sosilogi pedesaan, seperti International Rural Sociological Association(IRSA), menyelenggarakan konres dunia setiap empat tahun skali, yang sangat berjasa dalam membangkitkan antusiasme dan sumber daya institusional para anggotanya.
Namun  sejak  tahun  1960-an,  terminologi  ”kontinum  pedesaan-perkotaan” mengalami kemandekan teoretis. Beberapa kajian membuktikan bahwa kesenjangan pola sosial dan kultural tersebut, tidak dengan sendirinya sama dengan lingkungan spasial atau
ekologi sebagaimana dikatakan Pahl dalam tulisannya The Rural-Urban Continum (1966). Selain juga kajian ini gagal memecahkan persoalan kondisi struktur yang lebih luas, yang mempengaruhi kecenderungan para  petani  merespons kesempatan-kesempatan baru;  di samping itu juga tidak ada analisis struktur dan isi jaringan sosial yang di antara petani dan
ekstensionis  yang  mungkin  mempengaruhi  pola  adopsi  (Rogers  dan  Shoemaker,  1971). Akibat              berbagai    keterbatasannya    tersebut,    ditambah    dengan    diabaikannya    karya perbandingan mengenai bentuk berbagai produksi pertanian, dampak berbagai kebijakan
pemerintah terhadap pertanian, dan masalah ketidakserasian regional, merupakan disiplin ilmu ini menjadi lamban perkembangannya (Long, 2000_941-942). Salah aspek aspek yang paling  mengganggu  dalam  sejarah  sosiologi  pedesaan  ni   adalah  kegagalan  ilmu  ini
mengembangkan analsis sistematis tentang produksi pertanian, pada tingkat perusahaan maupun struktur agraria (Newby, 1980). Sehingga nasib sosiologi pedesaan saatini terperangkap dalam sejumlah kontroversi dan harapan. Sepanjang sejarahnya , sosiologi
pedesaan  tidak  pernah  dapat  secara  efektif  menyatakan  statusnya sebagai  disiplin  ilmu tersndiri yang memiliki obyek penyelidikan dan metode penjelasan yang khusus. Jika tradisi awal mengasumsikan bahwa ada perbedaan menyolok antar lokasi pedesaan yang membuat lokasi-lokasi itu mempunyai perbedaan dalam hal sosial dan budaya dibandingkan dengan
bentuk-bentuk kehidupan sosial perkotaan. Namun akhirnya makin banyak peneliti yang berpandangan bahwa lokasi pedesaan hanya sekedar entitas empiris atau geografis tempat seseorang  bekerja.  Keadaan  desa  tidak  mensyaratkan  teori  atau  implikasi  metodologis
khusus untuk penelitian, tetapi sangat tergantung pada jenis masalah teoretis dan metodologis yang dikandungnya, dan tidak semata-mata didasarkan pada kenyataan yang sama-sama memiliki pengalaman pedesaan (Long, 2000: 942).
Kedua, Sosiologi Idustri: Kelahiran bidang ini mendapat inspirasi dari pemikiran- pemikaran Marx, Durkheim, dan Weber, walaupun secara formal siologi industri lahir pada kurun waktu antara Perang Dunia-I dan II, serta secara matang tahun 1960-an dan awal
tahun 1970-an (Grint, 2000: 488). Dari pemikiran Marx setidaknya teori revolusi proletariat dari tumbuhnya alienasi serta eksploitasi ekonomi, pengaruhnya sanga dirasakan pada periode antara Perang Dunia I dan II, manakala terjadi lonjakan pengangguran dan krisis ekonomi  dunia,  walaupun  realitanya  pengaruh  ini  kurang  dominan.  Kemudian  gagasan
Durkheim yang ditulis dalam buku Division of Labour (1933), memberikan kontribusi yang berarti dalam sosiologi industri terutama dengan konsep dan teorinya tentang norma dan bentuk  solidaritas  soaial  organik  dan  mekanik-nya.  Sedangkan  dari  pemikiran  Weber,
merupakan jantung dalam pembentukan sosilogi industri Dengan menentang penjelasan materialis Marx mengenai kemunculan kapitalisme, Weber (1948) berpandangan bahwa gagasan-gagasan juga memainkan peran penting, khususnya yang berkaitan dengan etka
kerja Protestan. Namun, yang paling banyak dibicarakan analisis Weber tersebut adalah tentang birokrasi, dan signifikansi dari dominannya bentuk-bentuk otoritas ”legal-formal”, yakni otoritas yang legitimasinya berakar pada aturan-atauran dan prosedur formal (Grint,
2000: 488).
Dalam perkembangannya, sosiologi industri sejak tahun  1980-an terdapat empat tema baru yang muncul dan dalam riset-riset sosiologi industri. Pertama, sosiologi industri yang hanya menekankan gaya tradisional yang patriarkhal, memberikan peluang munculnya




lini baru yakni feminisme dalam riset. Dalam pendekatan ini, bahwa kerja’ bisa direduksi menjadi  pekerjaan  orang-orang  krah  biru  di  pabrik-pabrik  diperlawankan,  dan dikontraskan, dengan kerja domestik yang idak bergaji dan meningkatnya jumlah wanita part-timer  yang  mengerjakan pekerjaan  klerikal  dan  jasa.  Lebih  jauh,  gagasan-gagasan bahwa teknologi bersifat netral dan determnistik, dipelihatkan sebagai unsur penting dalam mempertahankan kesinambungan patriarkhal (Cocburn, 1983; Wajcman, 1991). Kedua, runtuhnya  komunisme  di  Eropa  Timur,  adanya  globalisasi  industri,  pergeseran  dari Fordisme (keadaan ekonomi sesuasai perang) menuju post-Fordisme, perkembangan- perkembangan teknologi pengawasan dan bangkitnya individualisme tanpa ikatan tahun
1980-an, mengantarkan bangkitnya minat pada peran norma dan dominasi diri yang seringkali dikaitkan dengan gagasan-gagasan Foucault dan tokoh pasca modernis lainnya
(Red dan Hughes, 1992). Ketiga, perkembanagan teknologi informasi dan aplikasi- aplikasinya di bidang manufaktur serta perdagangan, telah mendorong bangkitnya kembali
minat untuk menerapkan gagasan-gagasan konstruktivis sosial dari sosiologi ilmu pengetahuan serta  teknologi  ke  sosiologi  kerja  dan  industri  (Grint,dan  Woolgar,  1994). Keempat, asumsi bahwa pekerjaan dan produksi merupakan kunci identitas sosial tentang argumen-argumen bahwa pola-pola konsumsi merupakan sumber identitas individual (Hall,
1992).
Ketiga, Sosiologi Medis: Sosiologi Medis merupakan bagian dari sosiologi yang kajiannya memfokuskan pada pelestarian ilmu kedokteran khususnya pada masyarakat modern (Amstrong, 2000: 643). Bidang ini berkembang pesat pada sejak tahun 1950-an sampai sekarang. Setidak-tidaknya ada dua alasan yang mendorong pesatnya perkembangan bidang ini; pertama, berhubungan dengan asumsi-asumsi dan kesadaran bahwa problem yang terkandung dalam perawatan kesehatan masyarakat modern adalah sebagai bagian integral masalah-masalah sosial. Kedua, meningkatnya minat terhadap pengobatan dalam aspek-aspek sosial dari kondisi sakit (illness), terutama berkaitan dengan psikiatri (berhubungan   dengan   penyakit   jiwa),   pediatri   (kesehatan   anak),   praktek   umum (pengobatan keluarga) geriatrik (perawatan usia lanjut) dan pengobatan komunitas (Amstrong, 2000: 643-644).
Beberapa tulisan yang menghiasi kelahiran sosiologi medis tahun 1950-an, adalah
Journal  of  Health  and  Human  Behavior,  yang  kemudian  diubah  pada  tahun  1960-an menjadi Journal or Health and Social Behavior. Pada awal kelahirannya yang dominan adalah perspektif medis, psikologi, dan psikologi sosial. Dalam perspektif medis, terutama pada epidemiologi sosial, sebagai contoh, yang berusaha mengidentifikasi peran dari faktor- faktor soaial terhadap berjangkitnya penyakit menular, yang dilakukan oleh para ahli medis dan sosiologi. Hasil kajian awal menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari struktur sosial (kelas sosial) terhadap aetiologi dari penyakit psikiatris maupun organis (Amstrong, 2000:
644).
Kemudian Freidson menulis buku Profesion of Medicine (1970) yang berisikan tawaran suatu sintesis dari berbagai kajian awal mengenai profesi, pengklasifikasian, organisasi  medis,  persepsi  pasien  dan  sebagainya.  Khasanah  baru  ini  merupakan  teks penting  dalam  menetapkan identitas formal  sosiologi medis  ke  arah  baru.  Sebab,  pada dasarnya baik kondisi sakit (illnes) maupun penyakit (disease) merupakan konstruksi realita sosial, refleksi dari organisasi sosial, kepentingan profesional, hubungan kekuasaan, dan sebagainya. Dalam hal ini prestasi Friedson (1970) adalah membebaskan sosiologi medis dari batasan-batasan yang berdarkan kategori medis, serta mengungkapkan pengalaman pasien dan pengetahuan medis hingga analisis yang lebih mendalam dan sistematis.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya tahun 1990-an, minat terhadap studi detail  kehidupan  sosial  juga  dilibatkan  yang  meneliti  ekspresi  dalam  pengalaman  sakit
pasien. Pandangan pasien mengenai kondisi sakit ditelaah sebatas sebagai bahan tambahan dari perilaku sakit berdasrkan posisi pasien itu sendiri. Konsekuensi logis penerimaan pendapat tersebut sama bermanfaatnya dengan bidang medis, adalah munculnya kesadaran
bahwa pengetahuan medis tersebut bisa menjadi obyek penting dalam sosiologi. Ini berarti pengetahuan medis bisa dieksplorasi tidak hanya sebagai suatu bentuk kebenaran pengetahuan tertinggi, tetapi sebagai suatu sarana menuju masyarakat yang bisa dikendalikan, dialienasi, atau didepolitisasi dalam penyelenggaraan kehidupan mereka. Di




mana pengetahuan dan praktik medis memainkan peran penting dalam menciptakan tubuh yang bisa dianalisis dan dikalkukasi masyarakat modern. Namun demikian, tidak berarti sosiologi medis terbebaskan dari ilmu kedokteran, sebab terdapat begitu banyak ikatan dan aliansi untuk hal tersebut. Sekarang ini banyak para ahli sosiologi medis dipekerjakan oleh institusi-institusi medis  atau  pada  tugas-tugas mengandung unsur  medis  bahkan  upaya memperbaiki (ameliorate) pasien yang menderita (Amstrong, 2000: 646).
Keempat, Sosiologi Perkotaan: Sosiologi perkotaan adalah studi sosiologi yang mernggunakan  berbagai  statistik  di  antara  populasi  dalam  kota-kota  besar.  Kajiannya
terutama di pusatkan pada studi wilayah perkotaan di mana zone industri, perdagangan dan tempat tinggal terpusat. Praktek ini  menerangkan pengaruh penggunaan tata ruang dan
lingkungan kota besar dalam beberapa lokasi atau area kemiskinan sebagai jawaban atas beberapa kultur, etnis, dan bahasa yang berbeda, suatu mutu hidup yang rendah, beberapa kelompok kesukuan berbeda dan suatu standard perwalian menjaga rendah bahwa semua
jumlah ke disorganisasi sosial.
Sosiologi perkotaan Baru dimulai di Eropa pada awal 1970s dan kemudian menyebar kepada  Amerika  Serikat.  Hal  itu  juga  mempengaruhi studi  masyarakat  kota  di  Jepang. Artikel  ini  menguji  perubahan  debat  yang  sudah  terjadi  Sosiologi  Urban  /Perkotaan
berkenaan selama pengenalannya ke Jepang dalam akhir tahun 1970-an. Selama duapuluh tahun sejak pengenalannya dari Barat dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Tahapan yang pertama periode dari 1977 sampai 1985, ketika sosiologi urban Perancis, terutama sekali
teori Manuael Castell pernyataannya sangat berpengaruh. Tahapan yang kedua, dari 1986 sampai 1992, memusatkan pada teori pergerakan sosial dan konsep global dalam kota besar dalam suatu konteks pembaruan kota-kota di Jepang utamanya. Tahapan yang ketiga, dari
1992 sapai sekarang, ditandai oleh suatu perubahan bentuk Sosiologi Perkotaan dalam suatu teori ruang kemasyarakatan di bawah globalisasi yang telah dengan berat mempengaruhi dengan pekerjaan David Harvey (Kazutaka Hashimoto, 2002). Beberapa tema yang relevan
dalam kajian sosiologi urban tersebut, di antaranya populasi, geopolitik, ekonomi dll.
Mazhab Chicago adalah suatu mazhab yang berpengaruh besar dalam studi sosiologi perkotaan ini. Di samping setelah mempelajari kota-kota besar pada awal abad 20, Mazhab Chicago masih memiliki peranan penting. Banyak dari penemuan mereka telah berharga
maupun yang ditolak, tetapi pengaruh kekal Mazhab Chicago tetap dapat ditemukan dalam pengajaran masa kini.
Deskripsi  Sosilogi  Perkotaan  Baru:  Perwakilan  suatu  kontribusi  utama  kepada
bidang,  Tanda  pengarang Mark  Gottdiener  dan  Ray  Hutchison (2006)  menyajikan  teks terobosan mereka di (dalam) suatu edisi baru ketiga, sekarang dengan sepenuhnya meninjau kembali dan mengefektifkan untuk menyediakan para siswa dengan suatu yang mengandaskan  padat   pada   topik   itu.   Buku   diorganisir  di   sekitar   suatu   terintegrasi paradigma--the sociospatial perspective--which mempertimbangkan peran itu yang dimainkan oleh faktor sosial seperti ras, kelas, jenis kelamin, gaya hidup, ekonomi, kultur, dan politik pada pengembangan area metropolitan. Studi kasus baru seluruh teks menghadirkan pekerjaan yang paling terbaru di dalam bidang, seperti halnya terminologi kunci  dan  diskusi  mempertanyakan pada  ujung  bab  masing-masing. tambahan  Baharui meliputi diskusi globalism, suburbanisasi, daerah yang multi-centered sebagai format berkenaan dengan kota yang baru, urbanism yang baru, dan perspektif kritis pada perencanaan dan kebijakan.
Di AS dan UK, "penduduk kota" adalah sering digunakan sebagai suatu eufemisme untuk menguraikan loncatan kultur modern atau subsets (kumpulan bagian) kultur hitam;
yang menjadi penggambaran kelompok sebagai tipe suku bangsa penduduk kota. Hal itu dapat juga mengacu pada semakin besar ketersediaan tentang sumber daya budaya (seperti
seni, teater, peristiwa, dll) dibandingkan dengan area pedesaan atau di pinggiran kota.
Di dalam sosiologi dan, kemudian, ilmu kriminologi, Mazhab Chicago (kadang- kadang  dilukiskan  sebagai  mazhab  ekologis)  mengacu  pada  hal  yang  pertama  muncul
sepanjang 1920-an dan 1930-an spesialisasi sosiologi perkotaan, dan riset ke dalam lingkungan perkotaan oleh teori kombinasi lingkungan dan bidang pekerjaan etnografi di Chicago, sekarang diterapkan di tempat lain. Sementara itu menyertakan sarjana pada beberapa   Chicago   Universitas   Area,   istilah   adalah   sering   digunakan   dengan   dapat




dipertukarkan untuk mengacu pada Universitas Sosiologi Chicago's Department-One yang paling tua dan salah satu dari yang paling bergengsi. Setelah Perang Dunia II,  "Ke dua Mazhab Chicago" bangkit yang anggotanya menggunakan interaksionisme simbolis mengkombinasikan dengan metoda riset lapangan, untuk menciptakan suatu badan pekerjaan  baru.  Karena  suatu  sejarah  yang  menyeluruh  Mazhab  Chicago,  lihat  Martin Bulmer (1984) dan Lester Kurtz (1984).
Peneliti yang utama di mazhab ini mencakup Ernest Burgess, Ruth Shonle Cavan, Edward Franklin Frazier, Everett Hughes, Roderick D. Mckenzie, George Herbert Mead,
Robert E. Park, Walter C. Reckless, Edwin Sutherland, W. I. Thomas, Robert E. Park, Walter
C. Reckless, Edwin Sutherland, W. I. Thomas, Frederic Thrasher, Louis Wirth, Znaniecki
Florian (Wikipedia, 2002).
Kelima, Sosiologi Wanita: Lahir dan berkembangnya sosiologi wanita secara perintisannya sejalan dengan perkembangan gerakan feminisme yang dipelopori oleh Mary
Wollstonecraft dalam bukunya A Vindication of The Right of Women (1779), kendati akar- akar historisnya dapat dilacak sejak lahirnya sosiologi sebagai disiplin akademik. Sosiologi wanita merupakan suatu perspektif menyeluruh tentang keanekaragaman pengalaman yang terstruktur bagi kaum wanita. Dengan mendefinisikan sosiologi wanita dalam arti pola-pola
ketidakadilan  yang  terstruktur,  khususnya  kerangka  stratifikasi  jender.  Di  samping  itu secara ekplisit adanya pengintegrasian penelitian yang progresif mengenai peran jender dari disiplin  sosiologi.  Bidang  kajian  ini  bergerak  kearah  suatu  penilaian  sistematis  tentang
seluruh wanita, termasuk wanita kulit berwarna, wanita kelas pekerja, wanita lanjut usia, dan sebagainya. Singkatnya yang dilakukan oleh kaum wanita, ialah mengembangkan suatu sosiologi oleh, dan untuk wanita (Ollenburger dan Moore, 1996: v).
Dilihat dari perspektif pendorong teori sosiologi wanita tersebut, terdiri atas tiga kelompok kontributor pemikiran sosiologi utama yang terpilih. Pertama, kelompok teoretisi positivis/fungsionalis, yang menegaskan bahwa tatanan alamiah” dominasi laki-laki sebagai
suatu  perbedaan terhadap argumen-argumen mengenai “hak-hak” kaum  wanita.  August Comte percaya bahwa wanita secara konstitusional” bersifat inferior terhadap laki-laki, karena  kedewasaan  mereka  berakhir  pada  masa  kanak-kanak.  Oleh  karena  itu  Comte percaya bahwa wanita menjadi subordinat laki-laki manakala ia menikah. Kedua, kelompok
para teoretisi konflik, yang melukiskan sistem-sistem penindasan yang secara sistematis membatasi kaum wanita. Karl Marx melihat masyarakat secara konstan berubah komposisinya;   kekuatan-kekuatan   antitesis   menyebabakan   perubahan   sosial   melalui
ketegangan-ketegangan dan perjuangan antarkelas yang bertentangan. Karena itu kemajuan sosial, diisi oleh perjuangan dan upaya keras yang membuat konflik ssosial menjadi inti dari proses   sejarah.   Di   sinilah   Marx   menulis   mengenai   eksploitasi   tenaga   kerja   yang
menimbulkan alienasi dan pembentukan kelas yang saling berlawanan. Dalam Tulisan Marx dan Engels (1970) mereka menulis tentang wanita, sebagai alat produksi sebagai berikut:
Tetapi  komunis  anda  akan  memasukkan  komunitas  wanita,  mengutuk
semua borjuis secara serempak. Seseorang borjuis melihat istrinya sebagai alat produksi belaka. Ia mendengar bahwa alat-alat produksi biasanya dieksploitasi; dan  tentu  saja  tidak  ada  kesimpulan  lain,  apa  yang  biasa terjadi pada kebanyakan alat produksi, menimpa pula pada kaum wanita. Ia tidak  perbah  menyangsikan  bahwa  tujuan  sesungguhnya  adalah menjauhkan status wanita sebagai alat produksi belaka.

Kelompok ketiga, adalah kelompok alternatif, yakni kelompok aktivis “karya sosoal dan interaksionis”. Kelompok ini dipimpin oleh Jane Addams yang bermukim di pemukiman kumuh Chicago West Side dari tahun 1800-an dan awal 1900-an (Addams, 1910). Yang membuka Hull House pada tahun 1889, mendahulukan pembukaan Universitas Chicago tahun   1892.   Model   pemukiman  tersebut   menurut   Deegan   dalam   (1988:   6)   adalah egalitarian, dominasi kewanitaan, dan pragmatis. Jaringan kerja kerja para aktivis sosial dan akademikus  yang  sering  mengunjungi  Hull  House,  termasuk  John  Dewey  dan  George Herbert Mead, banyak memberikan kontribusi pada perkembangan pragmatisme Chicago yang  menggabungkan ilmu  pengetahauan obyektif  pengamatan  dengan  isu-isu  etik  dan moral untuk menghasilkan suatu masyarakat adil dan bebas (Deegan,1988: 6)




Keenam, Sosiologi Militer: Bidang kajian ini menyoroti angkatan bersenjata sebagai suatu organisasi bertipe khusus dengan fungsi-fungsi sosial spesifik (Bredow, 2000:
664). Fungsi-fungsi tersebut bertolak dari sutu tujuan organisasi keamanan dan sarana- saranya, kekuatan, serta kekerasan. Sebetulnya masalah-masalah seperti itu sudah lama
didiskusikan oleh para sosiolog seperti Comte maupun Spencer. Akan tetapi secara formal studi-studi sosiologi militer tersebut baru dimulai selama Perang Dunia II.  Kajian  yang paling awal dilakukan Reseaarch Branch of Information and Education of the Armed Forces
antara tahun 1942-1945, yang kemudian dipublikasikan (Stouffer, 1949). Sosiologi militer tersebut  terus  berkembang pesat  khususnya  di  Amerika  Serikat,  yang  menurut  Bredow (2000: 665), terdapat lima bidang utama kajian sosiologi militer.
Pertama; problem-problem organisasi internal, yang menganalisis proses-proses dalam kelompok kecil dan ritual militer dengan tujuan untuk mengidentifikasi problem- problem  disiplin  dan  motivasi  serta  menguraikan  cara-cara  subkultur  militer  dibentuk.
Kedua; problem-problem organisasional internal dalam pertempuran; di mana dalam hal ini dianalisis termasuk seleksi para petinggi militer, kepangkatan, dan evaluasi motivasi pertempuran. Ketiga; angkatan bersenjata dan masyarakat, yang mengkaji tentang citra profesi yang berkaitan dengan dampak perubahan sosial dan teknologi, profil rekrutmen
angkatan bersenjata, problem-problem pelatihan dan pendidikan tentara, serta peran wanita dalam angkatan bersenjata. Keempat; militer dan politik: Dalam hal ini dianalisis ada suatu perbandingan  bahwa  pada  demokrasi  Barat  riset  militer,  terfokus  pada  kontrol  politik
terhadap jaringan militer, kepentingan-kepentingan ekonomi dan administrasi lainnya. Namun bagi negara-negara berkembang, memfokuskan berbagai sebab dan konsekuensi dari kudeta militer yang diperankannya dengan membawa atribut-atribut pembangunan dan
“Praetorisme” (bentuk yang biasanya diterapkan oleh militerisme negara berkembang). Terakhir; angkatan bersebjata dalam sistem internasional. Dalam hal ini dianalsisis tentang aspek-aspek  keamanan  nasional  dan  internasional  disertai  peralatan/perlengkapan dan
pengendaliannya, serta berbagai operasi pemeliharaan perdamaian internasional.
Berikutnya bidang yang ketujuh Sosiologi Agama. Sosiologi agama terutama semata studi praktek, struktur sosial, latar belakang historis, pengembangan, tema universal, dan peran agama di (dalam) masyarakat. Ada penekanan tertentu atas timbulnya peran agama
dalam hampir semua masyarakat di atas bumi saat ini dan sepanjang/seluruh sejarah yang direkam. Sarjana sosiologi agama mencoba untuk menjelaskan efek masyarakat itu pada pada agama dan efek agama terhadap masyarakat; dengan kata lain, hubungan yang bersifat
dialektis antar merekaagama ini terutama tertuju pada studi praktis, struktur sosial, latar belakang historis, perkembangan, tema universal, dan peran agama dalam masyarakat. Ada penekanan tertentu pada terulang peran agama dalam hampir semua masyarakat di atas
bumi saat ini dan sepanjang;seluruh sejarah direkam. Sarjana sosiologi agama mencoba untuk menjelaskan efek masyarakat itu pada pada agama dan efek agama terhadap masyarakat; dengan kata lain, hubungan yang bersifat dialektis antar mereka (Wikipedia,
2002).
Kedelapan, Sosiologi Pendidikan (Sociology of Education): Merupakan bidang kajian sosiologi is associated with the concept, educational sociology. For that reason any discussion of a sosiology of education which this paper proposes to define must take into consideration the development of educational sociology. At the turn of the present century, there was considerable enthusiasm for the development of new discipline or at least a branc of sociology to be known as educational sociology. By 1914, as many as sixteen institutions were offering courses called educational sociology. In  the following period numerous books carrying some type of educational sociology title came off the press. These involved various concepts of the relationship between sociology and education. (Sosiologi dihubungkan dengan konsep, sosiologi bidang pendidikan. Karena itu memberi alasan manapun diskusi suatu sosiology pendidikan ini yang mengusulkan untuk menggambarkan harus mempertimbangkan dengan seksama pengembangan tentang sosiologi bidang pendidikan. Di putaran abad saat ini, ada gairah pantas dipertimbangkan untuk pengembangan disiplin baru atau sedikitnya suatu branc sosiologi untuk dikenal sebagai sosiologi bidang pendidikan. Dengan 1914,  sebanyak enambelas institusi sedang menawarkan kursus sosiologi bidang pendidikan. Pada periode yang berikut banyak buku




yang membawa beberapa sebutan/judul sosiologi bidang pendidikan terlepas dari dari tekanan itu. Ini melibatkan berbagai konsep hubungan antara sosiologi dan pendidikan)
Kesembilan Sosilogi Seni: Istilah “sosiologi seni” (sociology of art) digunakan dari sosiologi seni-seni (sociology of arts) atau sosiologi seni dan literatur (sociology of art and
literature). Sedangkan sosiologi seni-seni visual relatif jarang dikembangkan daripada sosiologi literatur, drama, maupun film. Implikasinya sifat generik dari bidang kajian ini mau tidak  mau menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam analisisnya, karena  tidak  selalu
terdapat hubungan linier antara musik dan novel dengan konteks atau politiknya (Wolff,
2000: 41). Namun demikian sosiologi seni, dapat dikatakan sebagai wilayah kajian yang cair, karena di dalamnya tidak ada suatu model analasis atau teori yang dominan.
Beberapa pendekatan yang banyak digunakan di Eropa dan Amerika memang ada perbedaaan. Sebagai contoh, di Inggeris dan Eropa lainnya, pendekatan Marxis dan non- Marxis masih ada pengaruhnya hingga tahun 1970-an. Sebaliknya sosiologi seni di Amerika
Serikat yang sering kali dinamakan sebagai pendekatan produksi-budaya (production-of- culture)  maupun  mainstream  analisis  sosiologi,  memusatkan  diri  perhatiannya  pada institusi dan organisasi produksi-budaya (Kamerman dan Martorella, 1983; Becker, 1982). Dalam tradisi Marxis para ahli seni bergerak dari metafora-metafora sederhana yakni basis-
basis  dan  suprastruktur yang  mengandung bahaya  sikap  reduksionis ekonomi  terhadap budaya, dan beranjak melihat literatur-literatur serta seni semata-mata sebagai “pencerminan” faktor-faktor klas atau ekonomi. Karena itu karya-karya pengarang Gramsci,
Adorno, dan Althusser menjadi penting dalam penyempurnaan model yang bertumpu pada level-level kelompok sosial antara kesadaran individual dan pengalaman spesifik tekstual (Wolff, 2000: 41-42)
Hal  ini  berbeda dengan pendekatan sosiologi seni  ‘produksi-budaya yang  sering mendapat  kritik  karena  dianggap  mengabaikan  produk  budaya  itu  sendiri.  Pendekatan
‘produksi-budaya’    (production-of-culture)    memfokuskan    pada    masalah    hubungan-
hubungan sosial di mana karya seni itu diproduksi. Para ahli sosiologi seni melihat peranan para “penjaga gawang” seperti; para penerbit, kritikus, pemilik galeri dalam memperantarai seniman dan masyarakat, hubungan-hubungan sosial dan proses pengambilan keputusan di suatu lembaga akademi seni maupun perusahaan opera, serta mengenai hubungan antara produk-produk budaya tertentu seperti fotografi di mana karya itu dibuat (Rosenblum, 1978; Alder, 1979). Kebanyakan yang menjadi fokus kajiannya di kebanyakan negara kecuali di Inggeris (studi literatur), yakni pada seni-seni pertunjukkan yang menyajikan kompleksitas interaksi sosial yang dianalisis.

No comments:

Post a Comment