Pada umumnya para ahli sosiologi
menerima obyektivitas ilmiah sebagai suatu yang ideal,
tetapi hal ini disadari
oleh berbagai kesulitan untuk mencapai obyektifitas
yang seperti
itu dalam disiplin ilmu sosial.
Bagaimanapun, mereka sepertinya tidak merasakan penyimpangan penelitian seperti itu untuk mencegah sosiologi dari suatu ilmu pengetahuan. Menurut Faris (1964: 5)”… the fact that all men have values does not mean that prejudice bears on every possible
issue, and it does not have to render impossible a value-free science. Kebanyakan sarjana sosiologi
adalah lebih banyak yang optimis tentang suatu disiplin ilmu
sosiologi yang “bebas nilai” dibanding Faris, tetapi banyak yang menyadari para sarjana
sosiologi harus diakui bahwa hal itu
sering terjadi penyimpangan dan mereka mencoba untuk memperkecil
efeknya atas riset mereka. Seperti yang Fichter
tulis:
The socilogist, as scientist, tries sincerely to avoid moral judments about
the cultures and societies that the studies…. Probably no sociologist
can entirely purify his lectures
and
writings from the values that he personally holds…even the secular scientist, which every sociologist
must
be, cannot divorce himself completely from the culture in which he is himself involved.
His own personal values in some way reflect the social
values of the culture
in which he has been
socialized
(Fichter, 1957: 8).
Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dipahami
para siswa bahkan masiswa
tingkat pemula. Namun demikian, para ahli sosiologi dengan sangat menyadari penuh optimis tentang bagaimana norma-norma dan
nilai-nilai masyarakat membentuk pandangan dunia perorangan itu akhirnya dapat dipahami oleh pembelajar. Bagaimanapun,
penerimaan terhadap fakta ini tidak mencegah mereka dari bekerja keras untuk membuat sosiologi sebagai sesuatu disiplin ilmu yang seobyektif mungkin (Banks, 1977: 241).
Tepat kiranya apa yang dikatakan Horton dan Hunt (1991: 6) bahwa dengna kata lain “obyektivitas berarti kesanggupan
melihat dan menerima fakta sebagaimana adanya,
bukan sebagaimana diharapkan terjadi”. Sebetulnya dapat dikatakan mudah pula untuk bersikap obyektif dalam melakukan
penelitian yang obyektif bila kita memiliki preferensi ataupun nilai-nilai yang
kokoh
melekat. Dengan
kata lain
pula cukup
mudah untuk bersikapo obyektif waktu mengamati sepasang ulat yang melakukan
reproduksi, tetapi tidak begitu mudah melihat “adegan panas” dalam film di layar lebar tanpa terpengaruh.
Atas segala hal di mana kita terlibat emosi, kepercayaan,
keinginan, kebisaaan, nilai-nilai, kita
cenderung hanya melihat hal-hal
yang bersesuaian dengan kebutuhan emosional dan nilai-nilai
yang melekat pada kita (Horton dan Hunt, 1991:
6).
Bersikap obyektif merupakan hal yang utama kalau bukan pertama dalam keharusan ilmiah.
Tidaklah cukup dengan
bersedia mengetahui sesuatu
sebagaimana adanya.
Kita harus mengetahui dan waspada terhadap penyimpangan-penyimpangan yang mungkin kita lakukan. Secara sederhana penyimpangan adalah suatu
kecenderungan, bisaanya secara tidak
sadar, melihat fakta dalam suatu arah tertentu karena pengaruh kebisaaan, harapan, kepentingan, dan nilai-nilai seseorang.
Ambilah sebuah contoh tentang “unjuk rasa tentang perdamaian”. Jika dilihat oleh suatu kelompok tertentu, maka akan
mungkin dinilainya sebagai
sikap dan tindakan berani untuk menyelamatkan dunia dari pertikaian
maupun perang.
Namun jika dilihat
oleh
kelompok
lain
bisa
berbeda penafsirannya.
Mereka dianggapnya sebagai tindakan
yang tidak terkendali dan
bersifat retoris
dengan omong kosong yang utopis. Banyak hasil-hasil eksperimen menunjukkan bahwa kebanyakan orang dalam suatu situasi sosial hanya mau melihat dan mendengar apa yang mereka harapkan.
Bila yang kita inginkan tidak tercapai, maka kita akan ngotot
dan mencoba melihatnya
dengan cara lain. Secara dramatis
hal ini telah ditunjukkan dalam suatu eksperimen
Alport dan Postman (1947)
sebbagai berikut:
… yang memperlihatkan kepada para pengamat suatu gambar seorang kulit putih yang berpakaian buruk yang sedang memegang pisau cukur terbuka
sedang bertengkar sengit dengan seorang kulit hitam yang berpakaian rapih dengan sikap meminta maaf dan bersahabat; kemudian para pengamat diminta untuk menggambarkan
adegan
tersebut. Beberapa di
antara mereka “melihat” pisau cukur berada di tangan orang kulit hitam, karena menurut mereka seharusnyalah demikian. Pengamat lainnya memandang adegan tersebut dengan benar, tetapi dalam meneruskan gambaran
tentang
adegan tersebut (A menggambarkan kepada B, B kepada C dan seterusnya),
pisau cukur
tersebut akhirnya menjadi berada
di tangan
orang berkulit hitam, karena sesuai dengan keinginan mereka, itulah yang “pantas”.
Sekalipun secara emosional mereka tidak terlibat dalam situasi tersebut, mempunyai waktu yang cukup untuk mempelajarinya, dan dengan sadar berusaha untuk melihat dan mendengar dengan cermat, namun
penyimpangan secara tak sadar dari para pengamat masih mengendalikan kebanyakan dari mereka untuk “melihat” atau “mendengar” fakta yang sebenarnya tidak ada ataupun tidak terjadi demikian
(Horton dan Hunt,1991: 7).
Dengan demikian beberapa bahaya umum terhadap obyektivitas adalah; kepentingan pribadi, kebisaan,
dan penyimpangan.
Sebab bagi seorang pengamat obyektivitas tidaklah datang sedemikian mudah, namun hal tersebut dapat dipelajari. Kita akan dapat lebih
obyektif apa bila kita semakin waspada terhadap preferensi-preferensi
pribadi kita untuk kemudian menyingkirkannya. Melalui latihan yang tepat dalam metodologi serta studi ilmiah di atas kebanyakan eksperimen serta mencatat contoh-contoh penggunaan data, baik secara obyektif maupun subyektif,
seseorang pengamat pada akhirnya mungkin dapat mengembangkan kemampuannya untuk menembus berbagai lapisan penipuan-diri dan
memandang fakta dengan obyektivitas
ilmiah pada tingkat yang lebih tinggi. Para ilmuwan
memiliki juga sekutu yang kuat, yaitu kritik dari rekan sejawat. Ilmuwan menerbitkan
hasil penelitiannya sehingga dengan demikian karya mereka dapat diperiksa oleh para sejawat
ilmuwan lainnya. Berkat proses penerbitan dan kritik tersebut
karya yang bermutu rendah akan
segera terlihat, dan para ilmuwan yang membiarkan preferensinya
mengatur
penggunaan data akan mendapat kritik tajam.
No comments:
Post a Comment