Tuesday, December 1, 2015

Perhatian Para Sosiolog

Perhatian para  sosiolog bergeser dari ruang kendali (dari  isu-isu seperti dampak negara, dominasi kelas, dan sebagainya), ke interaksi sehari-hari dan mendasar, ke tingkat akar rumput dari realitas, ke apa yang aktor lakukan satu sama lain dan kepada mereka sendiri, di dalam konteks interaksi langsung. Di bawah pengaruh argumen Alfred Schutz nyang menyatakan bahwa “dunia di dalam jangkauan” memberikan arketip untuk para aktor suatu model dari semua “kesemestaan makna” yang lain (Schutz, 1982), diasumsikan bahwa keahlian dan pengetahuan yang esensial secara reflektif atau tidak, yang disebabkan oleh para aktor di dalam kehidupan sehari-hari mereka, pada akhirnya bertanggung-jawab atas apa yang dianggap trend global dan impersonal atau bertahannya struktur obyektif (Bauman,
2000:1030).
Kalau saja dahulu ketika para aktor dianggap mempunyai banyak pengetahuan dan dalam  prinsipnya  mudah  untuk  memonitor  diri  sendiri,  maka  tugas  utama  investigasi
sosiologis berubah menjadi rekonstruksi pengetahuan mereka. Hal ini secara dramatis mengubah peran yang selama ini dianggap masuk akal di dalam diskursus sosiologi, yang
pada awalnya dianggap interpretasi alternatif yang lemah informasinya, dan secara esensial keliru khususnya terhadap realitas sosial kini menjadi sumber utama bagi interpretasi sosilogi. Ilmu sosiologi sampai pada derajat yang belum pernah terjadi sebelumnya, kini menerima pandangan hermeneutika (Gadamer, 1960; Ricoeur: 1981) seperti yang digagas oleh Dilthey dan Weber dengan konsep verstehen-nya menekankan bahwa realitas sosial secara intrinsik adalah bermakna (diberi makna oleh aktor yang memproduksinya), dan bahwa untuk memahami realitas tersebut maka seseorang harus merekonstruksi makna yang diberikan oleh aktor tersebut. Hal ini tidak selalu berarti bahwa para sosiolog harus berusaha sampai empati untuk menemukan apa yang sedang dipikirkan para aktor. Para ahli sosiologi masih cenderung menyangkal bahwa para aktor selalu merupakan penilai interpretasi sosiologis yang paling baik. Namun demikian pendekatan hermeneutika bukan berarti bahwa penjelasan atau penafsiran realitas sosial harus memperlakukan aktor sebagai pengendali makna dan pencipta makna, daripada sebagai orang yang didorong dan ditarik oleh desakan dan kekuatan yang secara obyektif dapat digambarkan.
Kecenderungan lain yang berhubungan erat adalah perpindahan dalam keterkaitan dari koersi dan desakan eksternal ke konstruksi diri dan definisi diri dari aktor. Tindakan menjadi bermakna, aktor mempunyai pengetahuan secara konstan merefleksikan identitas dan  motif-motif tindakan mereka. Dapat dikatakan bahwa jika  manusia dipandang oleh sosiologi ortodoks terutama dikendalikan oleh kebutuhan dan sasaran dari kekuatan sosial, maka mereka kini cenderung lebih sering ditafsirkan adanya pengendalian oleh identitas subyek yang termotivasi dan mempunyai pilihan sendiri.
Trend  yang  paling  umum  adalah  mengesampingkan  organisasi-organisasi  sosial untuk mencari pemicu tindakan sosial yang sebenarnya. Dengan demikian ahli sosiologi kontemporer lebih memberikan perhatian kepada komunitas (community) dengan mengorbankan masyarakat (society) demi tujuan praktis, identik dengan negara bangsa. Dalam selang waktu yang cukup lama, para sosiolog percaya bahwa komunitas adalah peninggalan dari masa pramodern, yang ditakdirkan lenyap seiring dengan berjalannya modernisasi. Kini posisinya dikembalikan ke posisi utama dalam analisis sosiologis, dan dianggap sebagai sumber tertinggi dari makna yang dipunyai aktor serta dari realitas sosial sendiri. Komunitas tersebut dianggap sebagai penyangga tradisi yang dipertahankan dan diciptakan kembali oleh tindakan-tindakan dari para anggotanya; menjadi sumber utama dari semua komunitas umum (commonality) yang dijumpai dalam makna para aktor. Di mana mereka menjadi point referensi dalam proses para aktor mendefinisikan diri mereka sendiri serta membentuk identitasnya. Berbeda dengan “masyarakat” yang diidentikan dengan negara-bangsa, komunitas tidak memiliki batas-batas obyektif batas-batas yang dijaga oleh kekuatan koersif. Sebab komunitas adalah cair, begitu-pun kekuatan yang mencengkram para anggotanya mungkin juga beragam bentuknya (cengkraman itu tidak lain adalah intensitas dari identifikasi emosional para aktor dengan apa yang mereka rasakan, atau bayangkan, sebagai komunitas).
Sebaliknya, para sosiolog beranggapan bahwa komunitas adalah imagined (yang dibayangakan). Sebagaimana pandangan dalam  sosiolog kontemporer, komunitas adalah seauatu  yang  dipostulatkan  postulat  tersebut  menjadi  kenyataan  ketika  tindakan dilakukan seolah-olah tindakan tersebut adalah realitas. Karena itu ada sifat saling mempengaruhi  yang  konstan  antara  aktor  dan  komunitas  “mereka”  yang  tidak  diberi prioritas di dalam analisis sosiologi (Bauman, 2000: 1030).




Sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup; keluarga, etnis /suku bangsa, komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, budaya, bisnis dan organisasi lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13; Horton dan Hunt, 1991: 4). Sosiologi juga mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya  serta  menganalisis  pengaruh  kegiatan  kelompok  terhadap  para anggotanya. Dengan demikian sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses-proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.

No comments:

Post a Comment