Perhatian para sosiolog bergeser dari ruang kendali
(dari isu-isu seperti dampak
negara, dominasi kelas, dan sebagainya),
ke interaksi sehari-hari dan mendasar, ke tingkat akar
rumput dari realitas, ke apa yang aktor lakukan satu sama lain dan kepada mereka sendiri, di dalam konteks interaksi langsung. Di bawah pengaruh argumen Alfred
Schutz nyang menyatakan bahwa “dunia di dalam jangkauan” memberikan arketip untuk para aktor suatu
model dari semua “kesemestaan makna” yang lain (Schutz,
1982), diasumsikan bahwa
keahlian dan pengetahuan yang esensial secara reflektif atau tidak, yang disebabkan oleh
para aktor di dalam kehidupan
sehari-hari mereka, pada akhirnya bertanggung-jawab
atas apa yang dianggap trend
global dan impersonal atau bertahannya struktur obyektif (Bauman,
2000:1030).
Kalau saja dahulu ketika para aktor dianggap mempunyai banyak pengetahuan
dan dalam prinsipnya mudah
untuk
memonitor
diri
sendiri,
maka
tugas utama investigasi
sosiologis berubah menjadi rekonstruksi pengetahuan mereka. Hal ini secara dramatis mengubah peran yang selama ini dianggap masuk akal di dalam
diskursus sosiologi, yang
pada awalnya dianggap interpretasi alternatif yang lemah informasinya, dan secara esensial keliru khususnya terhadap realitas sosial kini menjadi sumber utama bagi interpretasi sosilogi. Ilmu sosiologi
sampai pada derajat yang belum pernah terjadi sebelumnya,
kini menerima pandangan hermeneutika (Gadamer, 1960; Ricoeur: 1981) ⎯ seperti yang digagas
oleh Dilthey dan Weber dengan konsep verstehen-nya ⎯ menekankan bahwa realitas
sosial secara intrinsik adalah bermakna
(diberi makna oleh aktor yang memproduksinya), dan bahwa untuk memahami realitas tersebut maka seseorang harus merekonstruksi makna yang
diberikan oleh aktor tersebut. Hal ini tidak selalu berarti
bahwa
para sosiolog harus berusaha sampai empati untuk menemukan apa yang sedang dipikirkan para aktor. Para ahli sosiologi
masih cenderung menyangkal
bahwa para aktor selalu merupakan
penilai interpretasi sosiologis yang paling baik. Namun demikian
pendekatan hermeneutika bukan berarti bahwa penjelasan atau penafsiran realitas sosial harus memperlakukan aktor sebagai pengendali makna dan pencipta makna, daripada sebagai orang yang didorong dan ditarik oleh desakan dan kekuatan yang secara obyektif dapat digambarkan.
Kecenderungan
lain yang berhubungan erat adalah perpindahan dalam keterkaitan dari koersi dan desakan eksternal ke konstruksi
diri dan definisi diri dari aktor. Tindakan menjadi bermakna, aktor mempunyai pengetahuan
secara konstan merefleksikan identitas dan
motif-motif tindakan mereka. Dapat dikatakan bahwa jika manusia dipandang oleh
sosiologi ortodoks terutama
dikendalikan oleh kebutuhan
dan sasaran dari kekuatan sosial, maka mereka kini cenderung
lebih sering ditafsirkan adanya pengendalian
oleh identitas subyek yang termotivasi dan mempunyai pilihan
sendiri.
Trend yang paling umum adalah mengesampingkan organisasi-organisasi sosial untuk mencari pemicu tindakan sosial yang sebenarnya.
Dengan demikian ahli sosiologi
kontemporer lebih memberikan perhatian kepada komunitas (community) dengan mengorbankan
masyarakat (society) demi tujuan praktis, identik dengan negara bangsa. Dalam
selang waktu yang cukup lama, para sosiolog percaya
bahwa komunitas adalah peninggalan
dari
masa pramodern, yang ditakdirkan
lenyap seiring dengan berjalannya modernisasi. Kini posisinya dikembalikan
ke posisi utama dalam analisis sosiologis, dan
dianggap sebagai sumber tertinggi dari makna yang dipunyai aktor serta dari realitas sosial sendiri.
Komunitas tersebut dianggap
sebagai penyangga tradisi yang dipertahankan dan diciptakan kembali oleh tindakan-tindakan dari para anggotanya; menjadi
sumber utama dari semua komunitas
umum (commonality)
yang dijumpai dalam makna para aktor. Di mana mereka menjadi point referensi dalam proses para aktor mendefinisikan diri mereka sendiri serta membentuk identitasnya.
Berbeda dengan “masyarakat”
yang
diidentikan dengan negara-bangsa, komunitas tidak memiliki batas-batas obyektif ⎯ batas-batas yang
dijaga oleh kekuatan koersif.
Sebab komunitas adalah cair, begitu-pun kekuatan yang
mencengkram para anggotanya mungkin juga beragam bentuknya (cengkraman itu tidak lain adalah
intensitas dari identifikasi emosional para aktor dengan
apa yang mereka rasakan,
atau bayangkan, sebagai komunitas).
Sebaliknya, para sosiolog beranggapan bahwa komunitas
adalah imagined (yang dibayangakan). Sebagaimana pandangan dalam
sosiolog kontemporer, komunitas adalah seauatu yang dipostulatkan ⎯ postulat tersebut menjadi
kenyataan ketika tindakan dilakukan seolah-olah tindakan tersebut adalah realitas. Karena itu ada sifat saling
mempengaruhi yang konstan antara aktor dan
komunitas “mereka” yang tidak diberi
prioritas di dalam analisis sosiologi (Bauman,
2000: 1030).
Sebagai obyek kajian sosiologi
adalah masyarakat dan perilaku sosial
manusia dengan
meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup; keluarga, etnis /suku
bangsa, komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, budaya, bisnis
dan organisasi lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13; Horton dan Hunt, 1991: 4).
Sosiologi juga mempelajari
perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya
serta menganalisis pengaruh
kegiatan kelompok
terhadap
para
anggotanya. Dengan demikian sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia
yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses-proses yang timbul dari
hubungan manusia dalam masyarakat.
No comments:
Post a Comment