Tuesday, December 1, 2015

Pengertian, Karakteristik, dan Ruang Lingkup Sosiologi



Secara terminologi ‘sosilogi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’ dan  ‘logos’.  ‘Socius’ (Yunani) yang  berarti  ‘kawan,  ‘berkawan, ataupun  ‘bermasyarakat. Sedangkan logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’. Dengan demikian secara  harfiah  istilah  “sosiologi” dapat  diartikan  ilmu  tentang  masyarakat  (Spencer dan Inkeles, 1982:4; Abdulsyani, 1987: 1). Oleh karena itu sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang masyarakat maka cakupannya sangat luas, dan cukup sulit untuk merumuskan suatu definisi yang mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat. Dengan kata lain suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja. Untuk sekedar pegangan sementara tersebut, di bawah ini diberikan beberapa definisi sosiologi, sebagai berikut:
Pertama; Pitirim Sorokin (1928: 760-761) mengemukakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu tentang: (a) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala- gejala  sosial  (contoh: antara  gejala  ekonomi  dengan  non-ekonomi seperti  agama,  gejala keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dan sebagainya.
Kedua; William Ogburn dan  Meyer  F  Nimkoff (1959: 12-13)  berpendapat bahwa sosiologi  adalah  penelitian  secara  ilmiah  terhadap  interaksi  sosial  dan  hasilnya,  yaitu
organisasi sosial. Ketiga; Roucek dan Warren (1962: 3) berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu tentang hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompoknya. Keempat; J.A.A. van Doorn dan C.J. Lammers (1964: 24) mengemukakan bahwa sosiologi ilmu tentang struktur- struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
Kelima; Meta Spencer dan Alex Inkeles (1982: 4) mengemukakan bahwa sosiologi ilmu   tentang   kelompok   hidup   manusia.   Keenam;   David   Popenoe   (1983:107-108) berpendapat  bahwa  sosiologi  adalah  ilmu  tentang  interaksi  manusia  dalam  masyarakat
sebagai suatu keseluruhan. Ketujuh; Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1982: 14) menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut mereka bahwa struktur sosial
keseluruhan  jalinan  abtara  unsur-unsur  sosial  yang  pokok  yaitu  kaidah-kaidah  sosial (norma-norma sosial),  lembaga-lembaga sosial,  kelompok-kelompok serta  lapisan  sosial. Sedangkan  proses  sosial  adalah  pengaruh  timbal-balik  antara  pelbagai  segi  kehidupan
bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, kehidupan hukum dengan agama, dan sebagainya.
Dengan demikian dalam buku  ini  sosiologi dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu tentang interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur
sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial.
Pada  umumnya  sosiologi  berkonsentrasi  pada  pemecahan  masalah,  tetapi kemunculan ilmu sosial ini dimaksudkan untuk membuat manusia sebagai mahluk rasional
ikut aktif ambil bagian dalam gerakan sejarah, suatu gerakan yang diyakini memperlihatkan arah dan logika yang belum diungkapkan oleh manusia. Karena itu sosiologi dapat membuat manusia merasa seperti di rumah sendiri di dunia yang asing lebih mampu mengendalikan diri mereka sendiri dan secara kolektif dan tidak langsung kondisi tempat mereka harus beraktivitas. Dengan kata lain sosiologi diharapkan akan menemukan kecenderungan histories  dari  masyarakat  modern,  dan  memodifikasinya.  Sosiologi  membantu perkembangan dan mengatur proses pemahaman yang mendasar dan spontan. Juga sejak dari awal sosiologi mengasumsikan bahwa tidak semua transformasi modern itu bermanfaat atau diharapkan. Karena itu sosiologi harus memberi peringatan kepada publik di semua

 
lapisan, khususnya di tingkat pembuat kebijakan, tentang adanya bahaya yang tersembunyi di balik proses yang tidak terkendali. Sosiologi juga harus memberikan jalan keluar untuk mencegah terjadinya proses yang tidak diinginkan tersebut, atau mengusulkan cara untuk memperbaiki kerusakan.
Para pendiri dan penerus disiplin ilmu yang baru ini setuju dengan pandangan tersebut  di  atas,  walaupun  mungkin  mereka  berbeda  dalam  penafsiran  tentang  ciri-ciri krusial dan faktor-faktor utama dari trend historis yang harus dipahami. Auguste Comte
(1798-1857)  mengidentifikasi kekuatan  penggerak  sejarah  dalam  kemajuan  pengetahuan ilmiah dalam “semangat positivisme. Herbert Spencer (1820-1903) membayangkan perjalanan masyarakat menuju tahap “industri yang damai, di mana tersedia banyak hasil
produksi untuk didistribusikan. Ia meramalkan kemajuan yang berkelanjutan menuju masyarakat yang semakin kompleks, bersamaan dengan bangkitnyaotonomi dan diferensiasi individu. Karl Marx (1818-1883) memperkirakan pada akhirnya muncul kontrol progresif terhadap  alam   di   dalam  emansipasi  penuh   dari   masyarakat    untuk   menghindari kesengsaraan dan perselisihan (konflik) yang akan mengakhiri alienasi produk dari produsennya serta mengakhiri transformasi produk-produk tersebut menjadi modal yang dipakai untuk memperbudak dan mengambil alih produsen, dan pada akhirnya akan terselsaikan semua bentuk eksploitasi.
Ferdinand Tonnies (1855-1936) memperkirakan pergantian sejarah, di mana Gemainschaft  jaringan  ikatan  parsial,  impersonal,  mempunyai  tujuan  tertentu,  dan kontraktual. Emile Durkheim (1855-1917) memfokuskan analisisnya pada trend historis atas pembagian progresif dari tenaga kerja, dan karena itu akan  bertambahnya kompleksitas sosial secara keseluruhan. Ia mengajukan sebuah model masyarakat yang diintegrasikan, pertama melalui solidaritas “mekanik” dari segmen yang sama kemudian melalui solidaritas “organik” dari kelas dan golongan yang berbeda-beda namun saling ketergantungan satu sama lain. Max Weber (1864-1920) menghadirkan modernitas terutama dari sudut pandang rasionalisasi semua bidang kehidupan sosial, pikiran dan kebudayaan. Dan semakin banyaknya tindakan yang dilakukan berdasarkan kalkulasi rencana serta mengabaikan tindakan irasional maupun berdasarkan aturan adat-istiadat. George Simmel (1859-1918) menekankan pergerakan dari hubungan kualitatif dan terdiferensiasi kearah hubungan kuantitatif yang seragam. Menggarisbawahi peran baru yang semakin meningkat yang dimainkan oleh kekuatan yang semakin universal dan mandiri. Contohnya yang paling baik adalah institusi keuangan dan aliran pemikiran kategoris abstrak (Bauman, 2000: 1028).
Apabila dahulu sosiologi terutama berhubungan dengan semua aspek stabilitas, repoduksi diri dan perulangan, di mana dengan jalan atau cara mengamankan semua aspek tersebut (perhatian utama dari “teori sistem” Talcot Parsons yang pernah dominan dan menarik perhatian dari fungsionalisme struktural), maka kini perhatian beralih kepada studi inovasi. Dipahami bahwa setiap tindakan adalah semacam kerja kreatif, meskipun pemahaman ini selalu mengambil penjelasan dari pola-pola yang telah ada dan bermakna. Penekanan juga telah jauh bergeser dari penelitian hukum dan keteraturan lainnya ke tindakan yang lebih dinamis. Tindakan tidak lagi dianggap sebagai kepastian, tetapi lebih sebagai kemungkinan, setiap tindakan adalah kreasi yang unik, dan karena itu sebenarnya tidak dapat diprediksi. Keraguan juga ditujukan kepada nilai prediktif dari statistik. Diakui bahwa sebagian besar fenomena yang sering terjadi tidak selalu merepresentasikan trend masa depan. Akibatnya, tampak tidaknya ada kriteria yang jelas untuk mengantisipasi konsekuensi dari kejadian, dampak dan durabitlitasnya. Oleh karena itu untuk menilai signifikansinya,  hal  ini  pada  gilirannya  mengakibatkan  erosi  obyek  atau  daerah  studi sosiologi yang pernah menjadi pusat perhatian dan bersifat khusus. Karena sosiologi tidak lagi berhubungan dengan konflik dasar, “hubungan utama, atau “proses yang mengarahkan”, maka tidak jelas mengapa beberapa topik tertentu, aktor atau peristiwa harus diberikan prioritas oleh para sosiolog.

No comments:

Post a Comment