Bidang ilmu apapun selalu ada
kontroversi, termasuk sosiologi. Walaupun para ahli
sosiologi sudah
berhasil dalam
mengidentifikasi
sejumlah konsep-konsep
dasar
sosiologis dan memperoleh konsensus mengenai arti penting tentang itu, konsep-konsep tersebut sering digambarkan dengan cara yang berbeda oleh berbagai peneliti. Kebanyakan
para ahli sosiologi terkemuka sangat memperhatikan permasalahan dalam definisi disiplin
ilmu sosiologi itu. Herbert Blumer, seorang ahli sosiologi yang terpandang, menetapkan
bahwa konsep-konsep yang menjadi kunci dalam sosiologis
adalah "samar-samar, ambigu, dan tak tentu" dan usaha itu untuk membuat terminologi yang lebih tepat telah menjadikan sebagian besar ‘tanpa buah’ (Quated dalam Gitter dan Manheim, 1957; 2)
Adapun konsep-konsep yang terdapat dalam sosiologi tersebut, mencakup; (1) masyarakat; (2 peran (3) norma; (4) sanksi; (5) interaksi sosial;
(6) konflik sosial;
(7) perubahan sosial; (8) permasalahan sosial; (9) penyimpangan, (10) globalisasi, (11) patronase, (12) kelompok, (13) patriarki, (14) hirarki
1. Masyarakat
“Masyarakat”
adalah golongan besar atau kecil terdiri
dari beberapa manusia yang
dengan atau karena sendirinya
bertalian secara golongan
dan merupakan sistem
sosial yang
pengaruh-mempengaruhi satu sama lain (Shadily, 1980: 31; Soekanto, 1993: 466). Dengan
demikian hidup bermasyarakat
merupakan bagaian integral
karakteristik dalam kehidupan manusia. Kita tidak dapat membayangkan,
bagaimana jika manusia tidak bermasyarakat. Sebab sesungguhnyalah
individu-individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya, karena manusia itu
adalah mahluk sosial. Manusia
membutuhkan satu
sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai manusia (Campbell,
1994: 3).
Kesalingtergantungan
individu atas lainnya maupun kelompok
ini menghasilkan bentuk-bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg, dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu yang merupakan sebuah keniscayaan.. Jadi, sebuah masyarakat pada
dasarnya adalah sebentuk tatatanan; ia mencakup
pola-pola interaksi antar manusia yang berulang
secara ajeg pula. Tatanan ini bukan
berarti tanpa konflik ataupun tanpa kekerasan, semuanya
serba mungkin, serta kadarnya jelas bervariasi dari suatu masyarakat
ke masyarakat lainnya. Akan tetapi, bagaimanapun rendahnya suatu masyarakat tetap tidak hanya sekedar penjumlahan beberapa manusia, melainkan sebuah pengelompokan yang teratur dengan keajegan-keajegan interaksi yang jelas.
Istilah ”masyarakat”
atau
society tersebut, sekarang telah memperoleh trend
baru dengan dikaitkannya dengan kata
”sipil”
menjadi
”masyarakat
sipil”
atau
civil
society. Walaupun hal ini merupakan sebuah konsep lama sebenarnya, namun dalam pemikiran sosial dan politik belakangan
ini bangkit kembali.baik
itu di Eropa Barat, eropa Timur, Asia, maupun Afrika. Secara tradisional, tepatnya pada
abad
18 istilah tersebut kurang lebih sekedar terjemahan istilah
Romawi ”societas civilis” atau istilah Yunani ”koinonia
politike” yang artinya ”masyarakat politik” Ketika John Locke berbicara pemerintahan politik
atau J.J. Rousseau tentang
etat
civil, mereka
bicara tentang dunia politik, masyarakat sipil merupakan
arena
bagi warganegara yang secara
aktif
secara
politik, dalam masyarakat beradab yang berdasarkan hubungan-hubungan dalam
suatu sistem hukum, dan bukannya
pada tatanan hukum otokratis yang korup (Kumar, 2000: 114).
Adalah Hegel, Gramsci, dan Tosqueville yang berjasa mengembangkan makna konsep modern ”masyarakat
sipil”. Hegel dalam bukunya yang berjudul Philosophy of Right (1821),
Gramsci dalam The Prison Notebooks (1929-1935),
dan Tosqueville dalam Democracy in America, sebagai wadah kehidupan etis yang terletak di
antara kehidupan keluarga dan
kehidupan kewargaraan yang ditentukan oleh ”permainan bebas” kekuatan-kekuatan politik,ekonomi, budaya dan pencarian jati diri individual dan lembaga-lembaga
sosial
kenegaraan
yang mewadahi dan mengatur kehidupan dan sekaligus berperan sebagai proses pendidikan
bagi kehidupan kenegaraan secara rasional (Kumar,
2000: 114). Namun pertanyaan yang harus dijawab
adalah apakah konsep itu hanya merupakan suatu himbauan moral
atau slogan, ataukah hal itu mengandung
substansi yang berarti dalam menunjang
penciptaan lembaga-lembaga konkret yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan?
2. Peran
“Peran” adalah satuan keteraturan perilaku yang diharapkan
dari individu. Tiap-tiap
hari, hampir semua orang harus berfungsi dalam banyak peran yang berbeda. Peran dalam diri seseorang
ini sering menimbulkan konflik. Sebagai
contoh, para guru sekolah dasar perempuan, diharapkan untuk mempersiapkan pengajaran IPS di sekolah
tiap hari sebagai kewajiban profesinya, namun di
sisi
lain ia juga bertanggung jawab sebagai istri
dalam urusan keluarganya.
Pada
saat sore dan malam hari ia mengurus anak-anaknya di rumah serta keperluan
rumah tangga lainnya seperti mempersiapkan makanan untuk anak-anak dan suaminya, mengawasi anak-anaknya belajar, membereskan dan merawat kebersihan ruangan, perabot rumah tangga,
dan sebagainya.. Inilah yang sering disebut sebagai
peran ganda, dan peran semacam ini hampir terjadi pada setiap profesi.
Para siswa perlu juga diajar bahwa banyak peran yang tradisional
kita sedang mengalami berbagai
perubahan. Munculnya
pergerakan pembebasan (emansipasi)
perjuangan hak-hak wanita dan kelompok gerakan protes lainnya telah menentang
peran- peran wanita tradisional di tahun-tahun terakhir ini. Terutama di negara-negara Barat yang
perintisannya sejak beberapa abad yang
lalu. Christine de Pizan menulis The Book of the City of Ladies (1405), merupakan karya substansial pertama tentang teori politik oleh seorang wanita, mendahului A Vindication of the
Rights of Woman karya Mary Wollstonecraft (1792) hampir empat ratus
tahun bedanya. Indonesia juga memiliki pejuang emansipasi wanita R.A. Kartini (1879-1904 ) yang dihimpun karyaya-karyanya oleh Mr. J.H. Abendanon
dalam buku Door duisternis tot licht atau
terjemahan
bahasa Indonesianya Habis
Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane. Meminjam istilah Adrienne
Rich
dalam Of Women Born (1977)
“kita sedang menyaksikan runtuhnya sistem patriarchal yang enggan dan lamban tapi pasti”. Konon katanya kini disintegrasi patrarkhal mulai nampak. Gerakan feminisme
merupakan salah satu arus budaya yang begitu kuat dewasa ini dan akan memiliki
pengaruh yang kuat pula pada evolusi peran wanita
berikutnya. Benarkah
realitanya
memang demikian? Mungkin
bagi sebagian orang mengakui akan adanya gerakan ini. Tetapi juga tidak sedikit orang yang skeptis
terhadap perubahan besar tersebut.
Dilihat dari jenisnya menurut
Linton (dalam Horton dan Hunt, 1991: 122) peran ini dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu “peran yang ditentukan atau diberikan” (ascribed)
dan “peran yang diperjuangkan” (achived). Peran yang ditentukan artinya
peran-peran yang bukan
merupakan
hasil prestasi dirinya atau berkat usahanya, melainkan semata-mata karena
pemberian orang lain. Contohnya gelar Raden, Raden Mas, Raden Ayu, Ida Bagus,
Cokorda, Gusti, Nyoman, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “peran yang
diperjuangkan” (achived) merupakan peran yang betul-betul hasil jerih payah atas usaha/prestasinya sendiri. Seseorang meraih gelar akademis tertentu, menjadi seorang professional, dan sebagainya.
3. Norma
Suatu ‘norma’ adalah suatu standard atau kode yang memandu perilaku masyarakat..
Norma-norma tersebut mengajarkan kepada kita agar peri-laku kita itu benar, layak atau pantas.. Dalam kehidupan masyarakat kita, orang-orang sering
diharapkan untuk berpakaian dan berbicara yang sesuai dengan tuntutan dan kondisinya. Seseorang yang akan menghadiri pesta pernikahan, jelas akan berpakaian lain dibanding ia akan berolahraga. Begitu juga kebiasaan untuk anak-anak sering diharapkan untuk bertindak,
berbicara dan berprilaku,
sopan sesuai dengan kehendak orang dewasa. Sebaliknya
juga pada orang dewasa itu sendiri biasanya diharapkan untuk bisa bertindak sopan ataupun hormat jika ia bertamu ke rumah orang lain.
Secara umum menurut Ciadini (2000: 709) bentuk norma itu terdiri dari dua bentuk dasar.
Norma jenis pertama merujuk pada perbuatan yang
bersifat umum atau biasa. Norma yang semacam ini bisa disebut norma deskriptif; karena menggambarkan apa yang dilakukan
kebanyakan orang. Norma jenis kedua, adalah norma yang mengacu kepada harapan- harapan bersama dalam suatu masyarakat, organisasi atau kelompok mengenai
perbuatan
tertentu yang diharapkan, serta aturan-aturan moral yang kita setujui untuk dilaksanakan. Norma semacam ini merefleksikan apa yang disetujuai oleh sebagian besar orang. Norma- norma
tersebut dapat memotivasi perilaku kita
dengan cara menjanjikan ganjaran
atau hukuman sosial informal atas perilaku tersebut.
4. Sanksi
‘Sanksi’ adalah
suatu rangsangan untuk
mlakukan atau tidak
melakukan
sesuatu perbuatan
(Soekanto, 1993: 446). Begitu juga hal yang serupa dikemukakan
K. Daniel
O’Leary dan Susan G. O’Leary dalam Classroom Management:
The
Successful Use of Behavior Modification mengemukakan bahwa sanksi merupakan upaya dengan suatu konsekensi yang diduga dapat mengurangi atau
menurunkan kemungkinan untuk melakukan perbuatan melanggar untuk masa yang akan datang O’Leary dan O’Leary, 1977:110).
Pemberian ‘sanksi’ bagi siapa-pun termasuk
anak
didik di sekolah adalah penting,
namun semuanya itu hanya diberikan
dalam kerangka ‘mendidik’, dan bukan oleh faktor- faktor emosional. Pandangan-pandangan pentingnya sanksi dalam suatu tertib organisasi
diawali oleh
pandangan-pandangan terapi
psikologi belajar behavioristik. Ciri-ciri
terapi behavioristik yang dominan adalah
terfokus pada “tingkah-laku yang spesifik
apa yang yang ingin diubah, dan tingkah-laku baru
yang bagaimana yang ingin dikembangkan?” Dengan demikian dalam pembelajaran yang dilandasi pandangan-pandangan
behavioristik tersebut menaruh banyak harapan
bahwa pada dasarnya melalui pengembangan teknik
modifikasi-modifikasi
perilaku dapat
dihasilkan dan dibentuk perilaku-perilaku yang diharapkan. Apakah hanya pandangan behavioristik yang memiliki pentingan pemberian
sanksi tersebut?.
Tentu saja tidak, karena semua aliran psikologi
belar dan pembelajaran (termasuk terapi) pada hakikatnya hal itu adalah perlu sdsnys pemberian sanksi. Hanya saja terdapat perbedaan
pada
strategi penanganannya
antara psikologi belajar behavioristik dengan lainnya. Dengan demikian mengenai pentingnya pemberian ‘sanksi’ bagi anak didik
bagi yang disruptive tidak sekedar penting bagi aliran
behavioristik saja.
Sebagai contoh bagi pendukung psikologi belajar dan pembelajaran eksistensialisme-
humanistik, mereka akan menempatkan siswa yang sangat berbeda dengan behavioristik. Dimana siswa sebagai subyek dalam mengembangkan
proses aktualisasi dirinya. Pandangan-
pandangan psikologi belajar
dan pembelajaran eksistesial-humanistik yang digagas
Carl Rogers
(1961) dan Abraham H. Maslow (1968)
tersebut, lebih menekankan kepada aspek mengembangkan tanggung-jawab dan
potensi-potensi diri dalam
hubungan sosial yang lebih bermakna untuk mencapai aktualisasi diri.(Raffini, 1980: 147).
5. Interaksi
Sosial
‘Interaksi sosial’ adalah proses sosial yang menyangkut hubungan timbal-balik antar
pribadi, kelompok, maupun pribadi
dengan kelompok. (Poponoe, 1983: 104; Soekanto: 1993:247). Interaksi
sosial tersebut merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
Mengingat dalam interaksi sosial tersebut di samping ruang-lingkupnya sangat luas dan bentuknya yang dinamis
(Gillin dan Gillin,
489).
Menurut Soekanto (1986: 52-53) berlangsungnya
suatu proses interaksi didasarkan oleh empat
faktor, antara lain faktor;
(1) imitasi, (2) sugesti, (3) indentifikasi, dan (4) simpati. Faktor imitasi sebagaimana dikemukakan sebelumnya oleh Gabriel
Tarde (1842-1904) bahwa hubungan sosial itu berkisar dala proses imitasi,
bahkan semua pergaulan antar
manusia itu pada dasarnya tidak lepas dari proses imitasi (Gerungan,
2000: 31). Dalam sisi positif imitasi
dapat
mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah atau
norma-norma.
Sedangkan dalam sisi negatif,
imitasi yang meniru model tindakan-tindakan
menyimpang, maka tindakan peniru tersebut juga bisa menimbulkan tindakan yang menyimpang (Bandura, 1973). Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu
sikap tertentu yang diterima
tanpa sikap kritis karena adanya hambatan
emosional yang kurang rasional.
Contoh konkritnya adalah seorang pemimpin yang kharismatik
bisa mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menggetarkan gelora
politik konfrontasi terhadap
suatu negara tertentu. Atau seorang bintang film ternama mampu menggiring
kaula muda untuk menyukai pakaian yang
menurut kita “compang-camping”. Faktor identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan
keinginan-keinginan dalam dirinya untuk
menjadi sama dengan orang lain. Contohnya
seorang anak laki-laki
suka memakai sepatu ayahnya.
Sedangkan yang merupakan faktor simpati, adalah proses seseorang meras tertarik kepada orang
lain, terutama untuk
memahami,
merasakan, maupun bekerjasama.
6. Konflik Sosial
Konflik sosial adalah merupakan pertentangan
sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan fihak lain. Konflik sosial
juga bisa berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi atau
menghancurkan kelompok lain, walaupun hal itu
tidak menjadi tujuan utama aktivitas kelompok tersebut
(Soekanto, 1993: 101). Dalam
wujudnya konflik sosial itu bisa tersembunyi tersebunyi (covert) maupun terbuka.
Konflik sosial merupakan salah satu bentuk interaksi sosial di mana ekstrem yang
satu mengarah ke integrasi
sosial
yang
sudah menjadi suatu general agreements yang memiliki
daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan, dan yang lain ke konflik
sosial. Tercapainya ‘tata tertib’
dan ‘konflik’ adalah dua kenyataan yang melekat bersama dalam setiap sistem
sosial. Sebab tumbuhnya
tata tertib sosial atau sistem nilai
yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakatnya, sama sekali tidak berarti lenyapnya konflik
dalam masyarakat. Justru sebaliknya, tumbuhnya tata tertib sosial mencerminkan
adanya konflik yang bersifat potensial dalam
masyarakat. Dengan
demikian jika kita berbicara tentang ‘stabilitas’ dan ‘instabilitas’ dari
suatu sistem sosial, maka yang di kita
maksudkan adalah tidak lebih dari menyatakan derajat keberhasilan
atau kegagalan dari suatu tertib normative dalam mengatur kepentingan yang saling berkonflik (Lockwood, 1965:285).
Pentingnya pembelajaran tentang konsep ‘konflik’ bagi siswa bukan dilihat sekedar aspek
negatif yang menyertainya
melainkan dalam perspektif
yang lebih luas baik itu
maknanya maupun kehadirannya yang selalu ada dalam interaksi sosial. Sebab terminologi‘konflik’ sering dipelintir
untuk mendeskreditkan aliran tertentu yang hampir
“tidak
mungkin dan tidak boleh berkembang”. Padahal
dalam teori-teori
konflik non-Marxis seperti Ralf Dahrendorf
sosilog Jerman yang menulis Class and Class Conflict
in Industrial (1929) bahwa sekalipun dengan penggunaan otoritas yang sah dan mereka tunduk terhadapnya,
maka sesungguhnya di situlah terdapat konflik yang saling melekat.
Karena itu menurut Dahrendorf bentuk konflik meliputi bentuk kepentingan
laten (latent
interest) dan kepentingan kelas yang disadari sebagai tujuan yang disebut “kepentingan manifest” (manifest interest).
Berbeda juga dengan pendapat Lewis Coser dalam The Functions of Social Conflict(1956), bahwa fungsi konflik eksternal
adalah untuk memperkuat kekompakan internal dan meningkatkan moral kelompok
yang memegang peranan
demikian pentingnya. Tidak sedikit
penciptaan antagonisme dengan kelompok-kelompok
luar untuk mempertahankan dan meningkatkan
solidaritas internal.
Karena itu menurutnya konflik tidak harus selalu merusak atau bersifat disfungsional untuk suatu sistem, melainkan
mempunyai fungsi positif dan menguntungkan sistem tersebut,
namun tidak berarti berimplikasi baik pula secara
moral (Johnson, 1986: 196).
7. Perubahan Sosial
‘Perbahan
sosial’ mengacu pada variasi
hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Ritzer, 1987: 560). Kemudian sosiolog lain mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi
dalam pengorganisasian masyarakat
(Persel, 1987: 586). Dari dua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan
sosial segala transformasi
pada individu, kelompok, masyarakat, dan lembaga-lembaga
sosial yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di
dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap
dan pola-pola perikelakuan
di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya,
bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi,
kecuali peubahan
itu
sendiri yang abadi. Artinya perubahan itu terus
terjadi sebagaimana dikatakan seoprang futuris Amerika ternama Alvin Toffler (1970: 28-29) bahwa
perubahan tidak hanya penting bagi kehidupan, tetapi perubahan
itu sendiri adalah kehidupan. Masyarakat juga terus berproses dalam tujuan yang tidak kita ketahui.
Konsep ‘perubahan sosial’ itu penting disimak peserta didik, agar mereka memahami bahwa
masyarakat itu senantiasa berobah di semua tingkat kompleksitas
internal dan eksternalnya. Di tingkat mikro
terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Di tingkat mezzo terjadi perubahan
kelompok, komunitas, dan organisasi. Sedangkan di tingkat makro
terjadi perubahan ekonomi,
politik, dan kultur yang berskala
internasional (Stompka, 2004:65).
Dalam wujudnya
perubahan sosial itu terjadi melalui berbagai bentuk perubahan, dari
evulusi sosial universal seperti yang dikemukakan oleh
Hebert Spencer (1820-1903) dalam motto-nya
“the survival of the fittest”
, yaitu daya tahan dari jenis atau individu yang mempunyai cirri-ciri yang paling cocok (paling
pandai, paling kuat, paling berkuasa) dengan
lingkungannya. Bahwa tidak ada kekuatan yang mampu menolak evolusi sosial (baik yang berwujud nonorganis, organis, maupun superorganis), karena didorong oleh kekuatan yang
disebutnya evolusi universal (Laeyendecker,
1991: 207). Kemudian perubahan
sosial berdasarkan siklus seperti yang dikemukakan Pitirim Sorokin (1889-1968)
yang tertuang dalam karyanya Social
and Cultural Dynamics (1937). Namun sebelumnya juga terdapat
suatu pendekatan berdasarkan
siklus yang menggunakan pendekatan spiral yang menaik dipelopori oleh seorang filosof sejarah Italia yakni Vico yang hidup pada zaman abad Pencerahan dalam karyanya The New Science
(1725). Menurutnya gerak perubahan sosial itu. Kemudian berkembang faham gerak sosial (sejarah) itu secara progresif semakin maju. Inilah yang disebut aliran ‘developmentalisme” (yang di dalamnya meliputi Evolusionisme maupun Marxisme), yakni suatu pendekatan yang beranggpapan bahwa
kualitas dan
keteraturan proses sejarah ditentukan oleh oleh logikanya sendiri atau oleh kekuatan
dari dalam (Sztompka, 2004: 211). Namun akhirnya pendapat developmentalisme
itu sekarang hampir mengalami
kematian setelah Karl R.Popper,
Robert Nisbet, Charles Tilly, dan
Immanuel Wallerstein mengkritik
pandangan developmentalisme tersebut.
Popper merumuskan kritiknya terhadap apa yang disebutnya ‘historisisme’. Dalam bukunya yang berjudul The Poverty of Historisism (1957), kemudian diulang dalam Logic of Scientific Discovery (1961), ia mengemukakan
bahwa “Keyakinan terhadap
nasib sejarah adalah takhayul belaka dan perjalanan sejarah manusia tidak dapat diramalkan
oleh
ilmu pengetahuan atau
oleh metode rasional mana-pun”
(1964:v).
Dengan demikian baginya perubahan sosial atau pergerakan sejarah
adalah bergerak menurut kekuatannya sendiri. Hal ini
bisa dipahami karena gerak suatu perubahan sejarah adalah tidak memiliki hukum
universal (1964: 115).
8. Permasalahan sosial
Istilah ”permasalahan
sosial” merujuk kepada suatu kondsi yang tidak dinginkan, tidak adail,
berbahaya, ofensif, dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.. Dalam pendekatannya, studi tentang
permasalahan sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok
yakni
pendekatan;
(1)
realis
dan obyektif, (2) pendekatan pendekatan konstruksionisme
sosial. (Pawluch,
2000: 995). Perhatian utama kelompok yang memakai
pendekatan realis dan obyektif mengidentifikasi
berbagai kondisi dan kekuatan dasar yang
menjadi sebab dari permasalahan tersebut, seringkali dengan sebuah pandangan yang mengutamakan tindakan amelioratif (peningkatan nilai
makna dari
makna biasa mapun buruk menjadi
makin baik). Sedangkan
pendekatan konstruksionisme sosial, tidak memusatkan pada perhatian
kondisi-kondisi obyektif, tetapi
mengarahkan pada
suatu
definisi proses sosial
di mana kondisi tersebut muncul sebagai
permasalahan.
Dalam kajian yang kedua tersebut, mereka mendefinisikan permasalahan
sosial sebagai tindakan kelompok yang yang mengekspresikan
kedudukan dan menyatakan klaim tentang putative conditins (kondisi-kondisi yang diduga). Menurutnya tugas para sosiolog permasalahan sosial bukan untuk mengevaluasi atau menilai klaim-kliam seperti
itu, tetapi mencari penjelasan kegiatan-kegiatan pembuatan klaim
dan hasil-hasilnya. Bahkan
agar
tidak jatuh pada ke dalam
analisis kondisi, Sector dan
Kitsuse (1977)
mendesak bahwa seluruh asumsi tentanag kondisi kondisi obyektif , termasuk
asumsi tentang keberadaannya,
ditunda. Sampai pada tingkat,
di mana para ahli sosiologi
menghadirkan kondisi-kondisi itu sendiri,
mereka menjadi partisipan ⎯ bukannya para analis ⎯ dalam proses-proses yang seharusnya mereka pelajari.
Dengan munculnya perspektif konstruksionis
sosial,
telah
merevitalisasi
kajian permasalahan sosial. Perspektif tersebut membangkitkan
banyak karya empiris yang menyelidiki usaha-usaha pembuatan klaim di seputar
isu-isu prostitusi, anak hilang, perokok kronis, pelecehan seksual, dan lingkungan kerja yang beracun, homoseksualitas, AID, minum minuman keras, pemanjaan anak yang berlebihan, dan pnganiayaan anak (Pawluch, 2000:994). Bahkan
belakangan ini telah
muncul permasalahan sosial
dalam
konteks
”silang- budaya”.
Sebagai contoh
sejak
awal tahun
1980-an
adanya
”medikalisasi”
yang
makin meningkat dalam permasalahan sosial. Medikalisasi merujuk pada tendensi untuk melihat kondisi dan perilaku yangf tidak dikehendaki sebagai permasalahan
medis atau berusaha mendapatkan solusi atau kontrol medis
(Conrad dan Schneider, 1980).
Di sinilah kaum konstruksionis
sosial telah meneliti medikalisasi dari kondisi-kondisi seperti alkoholisme,
kecanduan obat, aborsi di kalangan remaja, transeksualisme, serta ketidakcakapan dokter.
9. Penyimpangan
Istilah ”penyimpangan”
atau deviance sebenarnya dalam sosiologi telah lama ada
sejak awal kelahiran ilmu tersebut. Akan tetapi
makna sosiologisnya
baru muncul
belakangan. Para sosiolog
dan kriminolog mengartikan
sebagai perilaku yang terlarang,
perlu dibatasi, disensor, diancam hukuman, atau label lain yang dianggap buruk sehingga istilah
tersebut sering dipandankan dengan ”pelanggaran aturan” (Rock,
2000: 227-228).
Namun demikian istilah ”penyimpangan” tersebut tetap lebih luas daripada
kriminalitas karena yang menyimpang itu tidak sepenuhnya melanggar secara kriminal. Dalam sosiologi, istilah ”pemnyimpangan” memang selalu tidak jelas bagi para sosiolog. Oleh karena itu setiap sosiolog punya
punya pemahaman sendiri
(bersifat adhoc) atas istilah tersebut.
Namun dmikian bagi kaum sosiolog
untuk mengkaji beberapa perilaku yang dianggap ”aneh” dapat memenuhi kebutuhan untuk memuaskan rasa ingintahu,
memahami hal-hal aneh, merupakan alasan yang sahih bagi sosiologi
untuk mengadakan kajaian ilmiah
atas istilah tersebut.
Beberapa sosiolog dapat dikemukakan
pendapatnya yang beragam tersebut. Matza
dalam bukunya Becoming Deviant (1967) ia mengaitkan penyimpangan
dengan ”evaluasi majemuk, pergeseran standard penilaian, dan ambivalensi moral”.Kemudian Garfingkel dalam bukunya Studies in Etnometodology (1967), dan Goffman dalam
Stigma (1963) bahwa
penyimpangan sebagai cerminan upaya penyesuaian diri sebagian anggota masyarakat dalam mengatasi persoalannya, yang tidak jarang berbenturan dengan stardard-standard umum. Berbeda dengan Scot dan Douglas dalam karyanya Theoretical
Perspectives on Deviance
(1972) yang terpenting ”ciri penyimpangan
terletak pada penilaian pihak lain yang
menggapnya aneh”.
Dengan demikian istilah penyimpangan
makna yang terpenting adalah makna
konotatifnya, bukan makna denotatifnya. Dan, dampak perkembangan bidang baru sosiologi penyimpangan itu cukup besar,
sebab mereka turut menyegarkan kriminologi ortodoks serta memperbaiki unsur-unsur analitis
dan empirisnya (Roc,
2000: 230). Namun di sisi lain ilmu ini juga kian banyak mendapat
pengaruh dari disiplin lain mengingat aspek
yang dicakupnya juga sangat luas. Sebagai implikasinya
perbedaan antara kriminologi dengan sosiologi penyimpangan semakin kabur.
10.
Globalisasi
Istilah ”globalisasi”
merujuk pada implikasi tidak berartinya lagi jarak nasional, regional, maupun teritorial, sehingga apapun yang terjadi dan berlangsung di satu tempat, bukan jaminan bahwa kejadian atau peristiwa tersebut tidak membawa
pengaruh di tempat lain (2002: Ohmae,
3-30).
Runtuhnya
suatu
ekonomi, politik, dan sosial
budaya suatu negara, bisa jadi negara lain juga ikut merasakan dampaknya. Suasana chaos di satu negara-
bangsa, sangat berimbas ke negara lain. Begitu juga budaya ”meyimpang”
yang tumbuh subur
di satu negara, tidak menutup kemungkinan cepat
”menular” ke negara lain. Ibarat
dunia yang semakin tidak terbatas lagi, globalisasi dapat dimetaforakan
sebagai kamar yang tanpa sekat, di mana ratusan negara-bangsa seolah menyatu, seakan-akan berada dalam satu keluarga.
Globalisasi bisa terjadi
karena berdirinya jaringan-jaringan informasi dari komunikasi global. Jaringan-jaringan telekomunikasi
dan komputer mengatasi hambatan waktu dan ruang.
Dengan menggunakan sistem
setelit
dan
kabel baru,
saluran-saluran
seperti CNN dan MTV telah mulai membentuk pasar dan pemirsa televisi yang benar-benar
global(melalui hal ini
pula
makin disadari
perlunya kepekaan terhadap
perbedaan- perbedaan setempat). Komunikasi
yang
instan dan
mendunia
memberi substansi dari gagasan
Marshal McLuhan yang pertama kali diutarakan dalam pada tahun 1980-an, bahwa dunia
akan menjadi sebuah desa global (global
village).
Kita bisa melihat
setidaknya ada
dua
kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan
pertama, adalah terbukanya kesempatan-kesempatan baru oleh adanya jaringan komunikasi,
transportasi, dan
produk-produk
gloabal.
Negara-bangsa
yang mampu
dengan
cepat menyesuaikan
diri dalam perubahan (fast
adjuster), dan melakukan reforms yang berani sebagai layaknya yang bersikap optimis, memeinjam istilah sejarawan Amerika
kontemporer Paul Kenedy, dia-lah yang akan menjadi the winners. Sebaliknya bagi negara-bangsa yang
slow adusters, sebagai akibat
respons yang didasarkan kepada cara pandang yang pesimis, bahkan bersikap apocalyptic atau
alarmistis, dia-lah yang akan menjadi the losers (Kennedy,1995: 287-340).
Globalisasi dapat dianalisis secara kultural, ekonomi,
politik/institusional. Menurut Ritzer (2004: 588-590). Dalam masing-masing kasusu
perbedaan kuncinya adalah; apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas.
Pada titik ekstrim, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi trannasional
dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses di mana banyak input kultural lokal dan global saling
berinteraksi untuk menciptakan semacam pencangkokan kultur atau heterogenitas. Pada
kajian ekonomi, globalisasi mereka umumnya melihatnya sebagai penyebaran ekonomi pasar
ke seluruh dunia yang berbeda-beda
dengan menekankan pendekatan ”one-size-fits-all” dengan tidak memandang
perbedaan ekonomi nasional. Dalam bidang politik/institusional, lebih memfokuskan pada penyebaran model nation-state di seluruh dunia, dan munculnya bentuk-bentuk isomorfis dari tata pemerintahana yang serupa.
11
Patronase
Istilah ”patronase” dalam istilah ilmu-ilmu sosial lebih
banyak dikaitkan dengan
birokrasi sehingga dikenal
”birokrasi patrimonial”. Dalam birokrasi
patrimonial ini serupa dengan lembaga ”perkawulaan”,
di mana ”patron” adalah ”gusti” atau ”juragan”, dan klien adalah ”kawula”. Hubungan antara gusti dan
kawula tersebut bersifat
ikatan pribadi, implisit dianggap
mengikat seluruh
hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial
sebagai dasar tali perhubungan
(Kuntjoro-Jakti, 1980: 6). Pendapat tersebut diperkuat oleh Gianfranco
Pasquino guru besar Gianfranco Pasquino
dari University of Bologna, bahwa Patronase biasanya didefinisikan sebagai suatu kekuasaan
untuk memberikan berbagai tugas pada mesin birokrasi di semua tingkatan. Tap,
dalam pengertian yang lebih khusus, patronase
berarti pendistribusian
berbagai sumber
daya yang berharga: pensiun, lisensi
atau kontrak public berdfasarkan kriteria politik. Ada patron yang memiliki
kekuasaan dan ingin
mempertahankannya, dan di
sisi lain ada klien yang berada pada posisi
subordinat, meski tidak
berarti tanpa daya sepenuhnya atau kekurangan sumber daya (Pasquito, 2000: 736).
Kajian tentang patronase, sudah dimulai sejak Max Weber, menulis buku The Theory
of Social and Economic Organization yaitu tentang
”birokrasi patrimonial”, di mana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan
hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan familier, hubungan pribadi, dan hubungan ”baoak anak-buah” (patron-client).
Menurut Weber ada tiga otoritas tradisional yakni (1) gerontokrasi, (2) patriarkalisme, dan (3) patrimonial. Jika dalam gerontokrasi otoritas pada orang-orang tua, pada patriarkalisme
pada tangan suatu kekerabatan atau rumah tangga. Sedangkan dalam otoritas patrimonial terdapat suatu staf administratif di mana orang-orang mempunyai hubungan pribadi
dengan pemimpinnya. Atau, patrimonialisme terutama bahwa pegawai-pegawai pemerintah lahir di dalam
administrasi rumah-tangga
si pemimpin. Para administrator pemerintah sebenarnya merupakan pelayan-pelayan pribadi dan wakil-wakil si pemimpin itu.
Menurut Pasquino (2000: 737), patronase
seringkali menimbulkan
korupsi. Sumber-sumber publik dipakai sebagai sumber penyuapan. Individu-individu yang berhutang karir dan posisi kepada patron mereka akan dipaksa untuk
melaksanakan tindakan-tindakan
ilegal. Hak-hak warganegara diletakkan di bawah hak istimewa para klien. Hal ini tertunya berbeda dengan birokrasi di Eropa Barat yang lebih cenderung tipe birokrasinya
birokrasi yang rasional.
12.
Kelompok
Konsep ”kelompok” atau ”group” secara umum dapat didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang
disatukan oleh suatu prinsip, dengan pola rekrutmen, hak dan kewajiban tertentu. (Holy, 2000: 421). Konsep ini sangat dominan dalam kajian soiologi
karena dalam
kajian ”kelompok” tersebut
difahami berbagai interaksi
yang bersifat kebiasaan (habitual), melembaga,
atau
bertahan dalam waktu relatif lama, yang biasanya terjalin antar kelompok.
Dalam studi ”kelompok”
menurut Holy (2000: 421) terdapat beberapa
jenis tentang
kelompok. Pertama, kategori
sosial (social category), adalah sekumpulan individu yang secara
konseptual
mengelompok
atas dasar
karakteristik tertentu (Usia,
jenis
kelamin, pekerjaan, aagama,
kesamaan asal-usul, kekerabatan, dan sebagainya). Kediua,
kelompok sosial (social group), terdiri dari individu-individu yang sengaja
mengelompok dan terikat
dalam suatu jaringan interaksi baku yang membagi mereka pada sejumlah peran (ekonomi, politik,
ritual, bidang pekerjaan). Di sini keanggotaan tidak bersifat otomatis, melainkan
harus melewati prosedur tertentu. Kelompok ini terbagi lagi menjadi kelompok primer, yang anggotanya berinteraksi secara
tatap muka
(keluarga atau rumah
tangga).
Kelompok sekunder yang para anggotanya tidak hanya
harus berinteraksi secara
tatap muka (kelompok politik
atau atau asosiasi profesi).
Di samping itu ada kelompok khusus, yakni perusahaan,
yakni kelompok-kelompok yang memiliki yang menerapkan aturan tentang pembagian kerja
dan kepemilika, baik yang bersifat
materi maupun non-materi. Pada sisi ekstrim lainnya, terdapat pula kelompok aksi atau gugus tugas (task force) yang terdiri dari para individu yang mengorganisasikan diri untuk menjalankan suatu tugas atau kegiatan secara bersama-
sama. Namun keberadaan kelompok
gugus tugas (task
force) ini relatif lebih terbatas.
13. Patriarki
Secara harfiah ”patriarki”
berarti aturan dari pihak ayah. Istilah ini memiliki penggunaan yang
cukup
luas
namun umumnya memiliki kecenderungan
untuk mendeskripsikan
kondisi superioritas laki-laki atas perempuan (Cannel, 2000: 734). Dalam
sejarah modern istilah tersebut muncul oleh Henry Maine dengan karyanya Ancient Law (1861). Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa keluarga patriarkal merupakan dasar dan unit universal
dari
masyarakat
(Coward, 1983:
18),
yang
berasumsi bahwa organisasi
manusia sepenuhnya bersifat
sosial sejak awal. Pendapat tersebut tentu saja mendapat kritik keras dari alairan-aliran
evolusi
keluarga dan
masyarakat, seperti
Bachoven (1861, McLennan (1865), dan Morgan (1877), karena bagi mereka bahwa terciptanya masyarakat
modern melalui berbagai tahapan
budaya.
Dalam perkembangannya,
ide ”patriarki”
merupakan
suatu
tahap
penting
yang mendapat
tempat dalam teori sosial Marx, Engels, dan Weber, bahkan dalam psikoanalisis Freud. Dalam pendekatan Marxis, berpendapat
bahwa struktur material menentukan
hubungan laki-laki dan perempuan,
sedangkan kaum feminis radikalmembalikkan
persamaan tersebut. Bagi mereka struktur hubungan nilai-nilai patrirkal antar gender dan ketidaksejajaran gender menjadi paradigma bagi semua ketidakseimbangan sosial serta tidak bisa direduksi untuk kasus-kasus lain. Tulisan Engels (1884) menyoroti hubungan antara pemilikan swasta, keluarga patrriarkal dan asal mula penindasan atas wanita. Kepala rumah-
tangga yang bersifat
patriarkal menontrol dan mengarahkan wanita sebagai penghasil keturunan.
Pertanyaan yang
selalu
muncul dalam
perdebatan
tersebut bahwa,
apakah
penindasan terhadap perempuan itu bersifat
natural ataukah universal? Sebab dalam perpektif lintas butas budaya, sosiologi-antropologi senantiasa memiliki kritik atas asumsi bahwa hubungan antara pria dan wanita di manapun sama. Namunsejak tahun 1970-an kajian disiplin tersebut mulai dilirik oleh penyokong feminis (misalnya Otner, Reiter, Rosaldo, dan Lamphere) yang mulai mengubah fokusnya dari hubungan kekerabatan dekat ke arah gender. Dengan memaparkan bukti-bukti
etnografis dari luar Eropa, para ahli Sosiologi-antropologi semakin gencar memberikan pendapat bahwa perbedaan-perbedaan
biologis antara pria dan wanita
tidak harus
memperhitungkan atau
menjelaskan secara langsung tentang banyaknya
cara menguraikan berbagai hubungan
antar jenis kelamin. Masyarakat non-barat tidak harus membuat
suatu pembedaan biologi yang jelas antara pria dan wanita, juga tidsak harus mempertentangkan alam dengan budaya.
14. Hirarki
Konsep ”hirarki”
merujuk
kepada suatu
jenjang atau
tatanan atau
peringkat kekuatan, prestise atau
otoritas.
Ditinjau dari historisnya secara
umum konsep
hirarki
diserap oleh ilmu-ilmu sosial
pada mulanya hanya mengacu kepada gereja, pemerintahan pendeta,
dan bisanya Gereja Katolik Roma. Dalam pengertian
yang lebih luas merujuk pada organisasi bertingkat dari para pendeta atau paderi (Halsey, 2000: 433).
Berbeda dengan
pemahaman ”hirarki” dalam ilmu-ilmu
sosial
modern
menurut Dommant
(1970) hirarki didefinisikan sebagai ”jenjang komando yang diterima anak tangga yang
lebih bawah dari jenjang di atasnya secara berurutan”
(1970). Jadi definisi Dummont tersebut mengembangkan
analisis yang terpadu mengenai sistem kasta sebagai
sebuah susunan peringkat. Dengan demikian hirarki memperoleh tempat sebagai suatu bentuk khusus dari apa yang digolongkan oleh sosiologi
dan antropologi dengan label stratifikasi
sosial.
No comments:
Post a Comment