Pemikiran dan perhatian intelektual terhadap masalah-masalah serta isu-isu yang berhubungan
dengan sosiologi
sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi
suatu disiplin ilmu. Para ahli filsafat Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18 sudah
menekankan peranan akal budi yang potensial dalam
memahami perilaku manusia dan dalam memberikan landasan untuk hukum-hukum
dan
organisasi negara (Becker: 1932; Berlin: 1956; Capaldi: 1967). Pemikiran mereka lebih
ditekankan
pada
dobrakan utama
terhadap pemikiran abad pertengahan
yang
bergaya skolastik atau dogmatis, di mana
perilaku manusia dan organisasi
masyarakat
itu sudah
dijelaskan dalam hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama (Johnson, 1986: 14).
Sejarawan dan filsuf sosial Islam Tunisia Ibnu Khaldun
(1332-1406), sudah merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat- masyarakat halus
bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras (Chambliss, 1954:
285-312). Karya Khaldun
tersebut ditungkan dalam bukunya yang berjudul
al-Muqaddimah tentang
sejarah dunia dan sosial-budaya yang
dipandang sebagai karya besar
di
bidang
tersebut (Sharqawi, 1986: 144). Dari kajiannya
tentang watak masyarakat manusia, Khaldun
menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding kehidupan kota dan
masing-masing kehidupan ini mempunyai karakteristik tersendiri. Menurut pengamatannya politik
tidak akan timbul kecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi
kecuali dengan solidaritas.
Lebih
jauh
lagi ia mengemukakan
bahwa kelompok
yang
terkalahkan selalu senang
mengekor ke kelompok yang menang, baik dalam slogan, pakaian, kendaraan, dan tradisinya. Selain itu salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang
menggemari
kemewahan,
kesenangan,
kedamaian. Dan
apabila hal-hal ini
semuanya
mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk
dalam masa senja. Dengan demikian kebudayaan itu adalaah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja (Al-Muqaddimah,
1284
H: 168).
Pendapat Khaldun tentang watak-watak
masyarakat manusia
ini
dijadikannya sebagai landasan konsepsinya
bahwa kebudayaan
dalam berbagai bangsa berkembang
melalui empat fase, yaitu: fase primitif atau nomaden,
fase urbanisasi, fase kemewahan, dan
fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan
ini oleh Khaldun sering disebut dengan fase; pembangun, pemberi gambar gembira, penurut, dan penghancur (Al-Muqqaddimah, 1284 H: 137; Sharqawi, 1986: 145).
Jadi, peradaban-peradaban ditakdirkan tidak
untuk
bertahan
lama
dan
tumbuh
tanpa batas, tetapi untuk lebih menjadi mudah ditaklukkan oleh orang nomaden yang kuat,
keras, dan keberaniannya
diperkuat oleh rasa solidaritas yang tinggi. Namun kemudian,
penakluk-penakluk ini-pun meniru gaya hidup yang kebudayaan yang halus yang mereka
taklukkan. Dan siklus terus terulang lagi. Model masyarakat yang Khaldun gambarkan mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan
sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di jazirah Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan
suatu deskripsi historis
mengenai masyarakat-masyarakat Arab, tetapi untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika- dinamika masyarakat dan
proses-proses perubahan sosial secara
keseluruhan. Semangat atau sikap ilmiahnya
dalam menganalisis sosial-budaya pada umumnya mendekati bentuk-
bentuk penelitian ilmiah modern, dan isinya secara
substantif dapat disejajarkan dengan teori sosial modern. Namun demikian karya Khaldun sudah banyak diabaikan oleh para ahli teori sosial
di Eropa dan Amerika, mungkin antara lain karena dunia
Arab saat itu mulai
mundur, sedangkan Eropa dan Amerika semakin mendominasi (Johnson, 1986: 15).
Keadaan semacam ini
tidak
sekedar melanda
dalam
sosiologi, sebab sampai menjelang pertengahan abad ke 19, hampir semua ilmu pengetahuan yang dikenal sekarang
ini,
pernah menjadi bagian dari filsafat
dunia Barat yang berperan sebagai induk dari
ilmu pengetahuan atau “Mater Scientiarum”
ataupun menurut Francis Bacon sebagai the great mother of the sciences (Rosenberg, 1955: 29). Pada waktu itu filsafat
mencakup segala usaha-
usaha pemikiran mengenai masyarakat. Lama kelamaan, dengan perkembangan zaman dan
tumbuhnya peradaban manusia, pelbagai ilmu pengetahuan,
yang
semula tergabung dalam filsafat memisahkan diri dan berkembang mengejar tujuan masing-masing. Astronomi (ilmu
tentang bintang-bintang), dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang ifilsafat yang
terawal memisahkan diri, yang kemudian diikuti oleh ilmu kimia, biologi,
dan geologi. Pada abad 19 kemudian muncul dua ilmu pengetahuan
baru, yakni psikologi dan sosiologi. Begitu juga Astronomi yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat
yang bernama kosmologi, sedangkan alamiah menjadi fisika, filsafat kejiwaan
menjadi psikologi, dan filsafat
sosial menjadi sosiologi (Soekanto, 1986; 3).
Dengan demikian
maka lahirlah sosiologi, yang dalam pertumbuhannya dapat dipisahkan dari
ilmu-ilmu
sosial
lainnya,
seperti;
ekonomi, sejarah, politik, dan
lain
sebagainya. Lahirnya sosiologi
sebagai ilmu sosial tidak lepas peranannya dari seorang tokoh brilyan tetapi kesepian. Ia adalah Auguste Comte
(1798-1857), yang tidak hanya menemukan nama
untuk bidang studi yang belum dipraktekkan pada saat itu, tetapi juga mengklaim
status masa
depan
ilmu
pengetahuan tentang
hukum
yang mengatur perkembangan progresif namun teratur dari masyarakat
terutama
dari hukum dinamika sosial dan hukum
statis sosial
(Bauman, 2003:
1032)
⎯ pengetahuan yang
akan diperoleh dengan menyebarkan metode ilmiah dari observasi dan eksperimen
yang
dapat diterapkan secara universal.
Comte menulis buku berjudul Course of Positive Philosophy yang diterbitkan pada tahun antara 1830-1842, yang mencerminkan
suatu komitmen yang kuat terhadap metode
ilmiah (Johnson, 1986: 13). Buku tersebut merupakan ensiklopedi mengenai evolusi filosofis
dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan
yang
sistematis tentang filsafat positif,
yang semua ini terwujud dalam tahap akhir perkembangan (Johnson, 1986; 84-85). Singkatnya dalam hukum itu menyatakan bahwa masyarakat berkembang
melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap
ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, terbagi dalam tiga stadia, yaitu: (1) tahap
teologis, ditandai oleh kekuatan
zat
adikodrati Yang
Maha Kuasa; (2) tahap metafisik, ditandai oleh kekuatan
pikiran dan ide-ide abstrak yang absolut; dan (3)
tahap positif yang ditandai dengan kemajuan ilmu-ilmu positivistik
untuk kemajuan dan keteraturan hidup manusia, di mana sosiologi akan menjadi “pendeta agama baru”
(Lauer,
2001: 73-74).
Sosiologi yang lahir tahun 1839, berasal dari kata Latin “socius” yang berarti “kawan”, dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kata” atau “berbicara”. Dengan
demikian sosiologi berarti berbicra mengenai masyarakat. Bagi Comte maka sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan
kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir dari
perkembangan ilmu pengetahuan.
Tokoh lainnya ahli kemasyarakatan dari Inggeris yaitu Herbert Spencer (1820-1830), merupakan tokoh yang pertama-tama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris
yang konkrit yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology. Ia
mengemukakan bahwa kunci memahami
gejala sosial atau gejala alamiah itu adalah hukum evolusi universal
(Spencer, 1967). Gejala fisik, biologis, dan sosial itu semuanya tunduk pada hukum dasar tersebut.
Kemudian
prinsip-prinsip
evoulusi
tersebut juga
diperluas dari
tingkat gilogis ke sosial sehingga semboyan
survival aof the fittest
dalam Darwinisme Sosial
itu-pun sebenarnya dari Spencer
Emile Durkheim (1858-1917)
yang diakui sebagai “bapak sosilogi” dalam
pengembangan disiplin sosiologi sebagai
disiplin akademik, mengikuti tradisi positivistic
Prancis dan mengemukakan
dalil keberadaan fakta sosial yang spesifik, yang telah
ditinggalkan oleh bentuk studi lainnya, khususnya psikologi yang merupakan pesaing
dari sosiologi yang paling nyata dalam
tugas menjelaskan keteraturan di dalam
tindakan manusia
yang
dapat diamati. Dalam bukunya yang berjudul
The Rules of Sociological
Method, Durkheim mengajukan dalil bahwa
fakta
sosial itu tidak
dapat
direduksikan
ke fakta
individu, melainkan memiliki
eksistensi yang idependen pada tingkat sosial. Inilah
yang awal
yang menegakkan sosilogi sebagai satu disiplin
ilmu tersendiri terlepas dari psikologi,
walaupun pendapat tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Marx Weber dan
George C. Homans ⎯ dalam karyanya Social Behavior: Its Elementary Forms, kelompok reduksionis yang mengemukakan bahwa setiap usaha untuk menjelaskan gejala sosial
akhirnya harus didasarkan pada proposisi-proposisi mengenai perilaku
individu (Homans,
1961).
Apa yang membedakan
fakta sosial itu dapat dibedakan dengan gejala individual ? Bagi Durkheim, fakta sosial itu memiliki karaktersitik yang berbeda
dengan gejala
individual, yakni: Pertama, fakta sosial itu bersifat eksternal terhadap individu, yang merupakan
cara bertindak, berpikir,
dan berperasaan yang memperlihatkan keberadaannya di luar kesadaran individu. Kedua, fakta sosial itu “memaksa”
kepada individu, walaupun tidak dalam
pengertian kepada hal-hal negatif. Melalui fakta sosial individu tersebut dipaksa,
dibimbing, diyakinkan, didorong,
atau dipengaruhi dalam
lingkungan sosialnya. Ketiga, fakta sosial itu
bersifat universal, oleh karenanya tersebar secara luas dalam arti milik bersama, bukan sifat individu perorangan ataupun
hasil penjumlahan individual, tetapi kolektif.
Dalam buku yang lain, Division of Labour in Society, Durkheim memusatkan konsep
“solidaritas sosial” sebagai sebuah karya yang membawahi semua karya utamanya.
Singkatnya, ”solidaritas sosial” menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dengan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral
serta
kepercayaan yang
dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Dalam
hal
ini
Durkheim menganalisis pengaruh atau fungsi kompleksitas
dan
spesialisasi pembagian
kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan
yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. Dalam arti bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan
suatu perubahan dalam struktur
sosial dari solidaritas sosial mekanik ke solidaritas
sosial organik (Durkheim, 1964a:
79).
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective
consciousness/conscience) yang
menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan
dan
sentimen-sentimen
bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama tersebut. Sedangkan dalam solidaritas organik, terdapat saling ketergantungan yang tinggi dan hal itu
muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar sehingga terbentuk spesialisasi-
spesialisasi dalam pembagian
pekerjaan. Karaktersitik
dalam munculnya
solidaritas organic tersebut ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restrictive) daripada
bersifar represif.(Jonson, 1986: 183-184).
.Pada saat yang hampir sama, Max Weber (1864-1920)
tokoh pendiri akademik lainnya yang terinpirasi
oleh
tradisi Geisteswissenchaven dan
Kulturlehre dari Jerman, berusaha membentuk disiplin baru. Sosiologi dibedakan oleh pendekatan dan pandaangan
interpretatifnya daripada oleh pernyataan bahwa seperangkat “fakta” terpisah
merupakan wilayah eksklusif untuk studinya. Bagi Weber, sosiologi
dibedakan oleh usahanya
untuk
verstehen (memahami) tingkah laku manusia. Untuk fokus kajiannya
itu ia berbeda dengan
Durkheim yang menekankan
fakta sosial tersebut. Bagi Weber kenyataan sosial itu sebagai
sesuatu yang didasarkan motivasi individu dan
tindakan sosial yang berarti. Dalam arti bahwa tinjauan Weber tersebut berhubungan dengan posisi nominalis, yang berpendirian
bahwa hanya individu-lah
yang
riil secara obyektif, sebaliknya masyarakat
hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu.
Tetapi analisis substantif Weber
tidak mencerminkan suatu
posisi
yang
individualistik dengan ekstrimnya. Dia juga mengikuti pentingnya dinamika-dinamika kecenderungan
sejarah yang besar pengaruhnya
terhadap
individu,
walaupun posisinya dapat dilihat sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan
individualisme-metodologis.
Artinya data ilmiah bagi ilmu sosial akhirnya berhubungan dengan tindakan-tindakan individu yang bersifat subyektif yang berhungan
dengan pelbagai “kategori
interaksi manusia”. Alasan mengapa dia menekankan pada kajian idividu yang serba subyektif ?.
Karena di masa hidupnya ia
sangat menekankan idealisme dan historisme.
Dunia ilmu budaya tidaklah
bisa dipandang sebagai sesuatu yang sesuai dengan yang dimengerti menurut hukum-hukum ilmu alam saja, yang menyatakan hubungan itu bersifat
kausal. Sebaliknya dunia budaya harus dilihatnya sebagai dunia kebebasan dalam hubungannya dengan pengalaman dan pemahaman
internal di mana arti-arti subyektif itu dapat
ditangkap. Sebab pengetahuan
yang obyektif melulu mengenai tipe yang dicari dalam ilmu-ilmu alam tidaklah memadai. Pandangan semacam ini dikembangkan
oleh gurun Weber, yakni seorang sejarawan Jerman bernama Wilhelm Dilthey (1883-1911)
yang menekankan tradisi idealis dan ilmu hudayanya yang menekankan verstehen (pemahaman
subyektif) bertentangan dengan paradigma positivisme dari Prancis atau Durkheim tersebut (Bauman, 2002: 1025)..
Namun sebaliknya
Weber juga berpendirian bahwa sosiologi haruslah merupakan suatu
ilmu
empirik;
harus
menganalisis
perilaku actual manusia individual menurut orientasi subyektif mereka sendiri.
Hal
ini
yang
juga
membedakan tajam
dengan kaum idealistic lainnya yang menurut anggapannya hanya menginterpretasikan perilaku individu ataupun perkembangan sejarah
suatu masyarakat sesuai dengan asumsi-asumsi apriori yang luas.
Di sini pula tinjauan Weber yang sesuai dengan positivisme karena menekankan arti
pentingnya empirisme, tetapi
bedanya Weber tetap tidak
menghilangkan arti penting tentang subyektivisme.
Dalam hal ini Weber bisa dikatakan setapak lebih jauh dalam memisahkan nilai-nilai analisis ilmiahnya. Selain ia terkenal dengan metode verstehen-nya, ia juga, Weber juga
mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah membenarkan suatu dasar untuk
memberikan pertimbangan nilai (value judgment). Ilmu pengetahuan
harus bersifat netral
dalam hubungannya dengan
menilai posisi-posisi moral
yang bertentangan. Inilah
keunggulan Weber, kendatipun pendapat yang tearkhir ini banyak mendapat kritik dari mazhab Frankfurt berikutnya.
Selain itu salah stu sumbangan Weber yang penting lainnya dalam
bidang metodologi adalah ia mengembangkan tipe ideal sebagai suatu cara untuk
memungkinkan perbandingan dan generalisasi-generalisasi empirik (Parson
dan Neil, 1956).
Tipe
ideal dikonstruksikan dan digunakan
sebagai tonggak pengukur untuk menilai seberapa jauh gejala itu sesuai dengan tipr ideal tesebut, sebagai konsep teoretis
dalam mengembangkan hipotesei-hipotesis penelitian. Akan
tetapi
tipe
ideal
bukan tidak
mengandung
pertimbangan nilai mengenai gejala yang sedang kita amati, jadi dugunakan untuk analisis,
bukan untuk evaluasi (Johnson, 1986: 218). Dan, salah satu tipe ideal yang
paling terkenal
dari Weber adalah
tentang birokrasi. Pelbagai
karaktersitik birokrasi ⎯ pembagian kerja dan spesialissi,
hirarki otoritas, penerimaan pegawai berdasarkan keahlian teknis, tekanan pada peraturan formal dan impersonalitas ⎯ membentuk tipe ideal suatu organisasi birokrasi. Memang dua tokoh ahli sosiologi tersebut
(yakni Durkheim dan Weber)
tersebut merupakan dua tokoh sosiologi yang paling terkemuka dalam sejarah perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.
Sosiologi berkembang
dengan pesatnya pada abad ke-20, khususnya di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat, walaupun arah perkembangannya dari ketiga negara tersebut berbeda-beda. Sebagai contoh di Inggris, walaupun dipopulerkan oleh John Stuart Mill dan Herbert Spencer, ternyata Sosiologi kurang berkembang di sana, dan hal ini berbeda dengan
di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat (Soekanto, 1986: 4).
Nama-nama seperti Auguste Comte dan Emile Durkheim (Prancis), Herbert Spencer
(Inggris), Karl Marx, Manheim,
Marx Weber, Georg Simmel, Ralf Dahrendorf (Jerman), Vilfredo Pareto (Itali), Pitirim Sorokin
(Rusia), Charles
Horton Cooley, Talcot Parsons,
George Herbert
Mead, Lester F. Ward, Erving Goffman,
Lewis Coser, Randall Collins (Amerika
Serikat), beserta tokoh sosiolog lainnya yang
terkemuka dalam perkembangan
sosiologi di Eropa dan Amerika.
Dari kedua benua inilah sosiologi
kemudian menyebar ke benua dan negara-negara lain, termasuk ke Indonesia. Singkatnya para pelopor yang mengembangkan
dasar-dasar sosiologi merasa yakin bahwa
mereka hidup dalam saat penting yang menentukan dalam sejarah.
Sejalan dengan berkembangnya analisis yang hidup dan berpengaruh mengenai revolusi-revolusi ilmu
pengetahuan,
Thomas Kuhn dalam
karyanya
The Structure of
Scientific Revolutions, menunjuk pada asumsi-asumsi intelektual yang disebutnya dengan
istilah “paradigma”. Suatu paradigma terdiri
dari pandangan hidup (world view atau
weltanschauung) yang dimiliki
oleh para ilmuwan
dalam suatu disiplin
ilmu tertentu (Kuhn,
1970). Kemudian timbul pertanyaan; apakah sosiologi didominasi oleh hanya satu paradigma
saja ? Bisa saja secara umum orang menjawabnya ya. Akan tetapi dibalik dibalik pandangan yang
umum tersebut terdapat perbedaan yang menyolok dalam asumsi-asumsi dasar dari
para
ahli sosiologi tersebut. Oleh karena itulah
George Ritzer dalam Sociology: A Multiple
Paradigm Science, menolak anggapan tersebut. Dia membedakan
tiga paradigma yang secara
fundamental yang sangat kontras, antara lain: (1) paradigama fakta sosial, (2) paradigma definisi
sosial, dan (3) paradigma perilaku
sosial (Ritzer, 1970).
Hal yang mendasar dalam distingsi ini adalah perbedaan-perbedaan dalam asumsi dasarnya
mengenai hakikat kenyataan
sosial. Paradigma fakta sosial yang diwakili Emile Durkheim selama
tahap perkembangan teori sosiologi
klasik yang sangat menyolok, dan pada
masa kini dalam
fungsionalisme dan teori konflik (Marxis dan non-Marxis seperti Dahrendorf, Coser, dan Collins)
yang menekankan ide bahwa fakta
sosial adalah real atau sekurang-kurangnya dapat
diperlakukan sebagai
yang
real, sama seperti fakta individu
(Johnson, 1986: 55). Selain itu juga fakta sosial tidak bisa direduksi ka fakta individu; fakta sosial
memiliki realitasnya sendiri. Struktur sosial dan isntitusi sosial merupakan salah satu
di antara fakta sosial tersebut yang mendapat perhatian khusus
dari para ahli sosiologi.
Paradigma definisi sosial (social definition) menekankan hakikat kenyataan
sosial yang sifatnya subjektif. Pada masa sosiologi
klasik, paradigma ini diwakili
oleh Max Weber
dan
tindakan sosial yang dikembangkan oleh Talcot Parsons di awal perkembangan karirirnya. Begitu juga teori
interaksionisme simbolik dalam karya Mead, Cooley, Thomas,
dsb.
Paradigma ini beranggapan banhwa kenyataan sosial didasarkan pada definisi yang
subjektif sifatnya dari penafsiran individu. Kemudian, paradigma perilaku sosial (social behavior) menekankan pendekatan objektif-empiris
terhadap kenyatan sosial. Menurut
pandangan ini, data empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku-perilaku individu
yang
nyata (overt behavior) yang dapat diukur. Kelompok ini diwakili
oleh Skinner dan
Homans.
Faktor-faktor multiparadigmatik ini pula yang mendorong dalam sosiologi
mempersubur banyaknya teori-teori
sosiologis
yang
sangat kaya,
namun mereka
yang
mewakili paradigma-paradigma
yang saling bertentangan itu bertolak dari posisi yang
berbeda-beda, lama-kelamaan menuju titik temu yang menyangkut banyak pokok
permasalahan
yang
penting. Hal ini bisa kita lihat contohnya mereka yang mewakili
paradigma fakta sosial, akhirnya
terpaksa mengakui bahwa fakta sosial tidak hanya bersifat eksternal, tetapi juga ada dalam derajat tertentu memiliki kesadaran subjektif individu yang
bersifat internal (Johnson, 1986: 57). Begitu juga dalam kelompok paradigma definisi
sosial. Mereka pada akhirnya
mengakui bahwa orang tidak hidup dalam suatu dunia yang seolah-
olah tidak
ada
lagi
yang lain dalam
kenyataan
sosial kecuali
definisi-definisi subjektif mereka. Setidak-tidaknya untuk berkomunikasi dengan orang lain, di mana individu harus
mempelajari suatu bahasa yang tidak mereka ciptakan sendiri ataupun individual. Di sinilah karya Weber memberikan contoh kuat peralihan dari paradigma definisi sosial
ke paradigma fakta
sosial (Johnson,
1986: 58).
Keteraturan sosial lama sudah hancur berantakan dan sedang menghilang
dengan
cepat, dan tidak jelas
apa
yang menggantikannya. Sistem kepercayaan
tradisional
yang dahulunya memberikan arti pada hidup, ikut mengarahkan
dan mengontrol
perilaku,
menjadi rusak oleh munculnya pendekatan ilmiah dan oleh sejumlah
ideologi baru. Pelbagai kelompok kepentingan dalam bidang ekonomi, politik, dan nasional
mulai mengejar tujuan- tujuannya sendiri, yang tidak terlalu banyak dibatasi oleh tradisi atau oleh komitmen moral
bersama, seperti oleh tekanan-tekanan yang datang dari kelompok-kelompok oposisi. Meskipun konteks sosial tertentu bervariasi antara satu negara dengan lainnya, semua pelopor
ahli
sosiologi
melihat
masyarakatnya
yang sedang mengalami
perubahan pesat
sering tanpa arah yang jelas. Tentu saja gambaran mereka tentang masa lampau terlalu
menekankan stabilitas dan kedamaian; walaupun demikian, hal ini memberikan suatu dasar perbandingan dengan masa sekarang
(Nisbet, 1966).
Banyak para ahli ilmu sosial
modern yang menaruh minat serta perhatiannya pada
berbagai perubahan
sosial yang terjadi belakangan ini. Beberapa ahli diantaranya berusaha
untuk menunjukkan kecenderungan
yang akan memungkinkan dapat dibuatnya proyeksi-
proyeksi tentang masa depan. Dan, kebangkitan yang paling berkembang serta
mengakibatkan munculnya
kritik yang luas dan penolakan terhadap apa yang disebut Anthony
Giddens sebagai “konsessus ortodoks” pada tahun 1970-an
yaitu “revolusi
fenomenologis” Diawali oleh Berger dan Luckman (1966) revolusi tersebut ditopang
oleh melimpahnya reformulasi radikal dari subyek persoalan dan strategi yang tepat dari karya-
karya sosiologi. Karya Alfred Schutz Life
Forms and Meaning Structure merupakan inspirasi dan otoritas teoretis yang utama. Karya ini
telah membuka jalan bagi pengaruh filsafat kontinental Edmund Huseerl dan Martin Hidegger, dan aplikasi hermeneutiknya di dalam
tulisan-tulisan
Paul
Ricouer serta Hans Gadamer. Efek dari pengungkapan
fenomenologi
adalah pergeseran minat dari batasan structural eksternal dan ekstra-subyektif,
menuju ke interpretasi pengalaman subyektif dari pelaku; dan
dari determinasi ke arbitrase antara
kebenaran obyektif dan opini prasangka, kemudian ke usaha mengungkapkan kondisi
pengetahuan yang berakar di dalam tradisi yang ditransmisikan
secara komunal.
“Etnometodologi” dari Harold Garfinkel dalam karyanya Studies in Ethnomethodology ⎯ yang
memperlakukan masyarakat sebagai
prestasi dari pelaku atau
aktor
yang berpengethuan luas, di dalam kegiatan sehari-harinya ⎯ lebih jauh menambahkan daya dorong kepada reorientasi
sosiologi berpindah dari struktur dan sistem
“obyektif” menuju ke “perwakilan (agency) sosial”, refleksi
diri, aksi intensional dan konsekuensinya yang tidak terantisipasi, merupakan sebuah
perpindahan yang secara spesifik dideskripsikan dalam karya Giddens (1976).
Telaah muncul keterbukaan yang lebih luas dari sosiologi terhadap
perkembangan dan bentuk-bentuk disiplin
sosial lainnya, dan secara umum
bergerak di bidang kebudayaan.
Terlepas dari fenomenologi dan hermeneutika, pengaruh
yang sangat kuat adalah
teori kritis dari Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dalam pemikiran filsafat kritis The Dialectic of
Enligtenment (1949), semiotik
dari Levi-Strauss dan Roland Barthes dalam buku Mithologies (1957)
dan Elements of Semiology (1964), filsafat pengetahuan dari Mitchel Foucault dalam The Order of Things: An Archeology of the Human Science (1973) dan Archeology of Knowledge
(1969),
historiografi dari Fernand Braudel yang merupakan sejarah
sosial dalam The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip
II (1966), psikoanalisis baru dari Jaques Lacan dalam Ecrits: A Selection (1966), dan Television: A Chalenge to the Psichoanalitic Establisment, serta dekontruksi dalam dari Jaques Derrida
mengenai teori tentang tulisan dalam Of Gramatology (1967). Selain itu juga semakin berkembang penulisan sosiologi yang diwarnai
pemikiran karakter transnasional. Contohnya adalah dampak luas dari karya
Jurgen Habermas (1979), “teori
komunikasi” karya Nikolas Luhman,
teori sistem ditinjau kembali” karya Ulrich Beck (1992), Risiko- gesellschaft, analisis Frederick Barth tentang batas-batas etnis, atau gagasan “modal kultural”, dan “habitus” dari Pieree Bourdieu
(1985).
Mereka percaya akan adanya indikasi-indikasi
bahwa kita ini ada pada jalan pintas yang dalam jangka
panjang
dapat menjadi
penting untuk masa
depan, seperti
halnya
Revolusi Industri di masa silam.
Sebut saja Daniel Bell dalam karyanaya The Coming of Post- Industrial Society, ia menganalisis munculnya
masyarakat “pasca industri”. Ia berpendapat bahwa dalam masyarakat
“pasca industri” dicirikan sutu
tipe masyarakat
yang lebih
menekankan pada produksi jasa, bukan barang-barang. Hal ini akan mencakup suatu
transformasi besar dalam
dalam
masyarakat
dunia
umumnya. Jika
suatu
masyarakat industri didasarkan pada harta benda sebagai
indikatornya, maka pengetahuan teoretis akan
menjadi suatu teori nilai kerja sampai kepada suatu teori nilai pengetahuan.
Menurutnya perubahan dalam dasar kehidupan sosial ini juga ditandai
oleh adanya suatu perubahan dalam struktur kelas. Kelas sosial baru yang dominan bukan lagi suatu kelas borjuis pemilik
harta benda, tetapi
suatu “inteligensia
sosial”: suatu kelas maupun individu yang
mendominasi bentuk-bentuk
pengetahuan teoretis seperti para guru, dokter, konsultan,
pengacara, ilmuwan, insinyur,
dan profesi keilmuan
lainnya .
Di
Indonesia,
walaupun secara formal
sebelum kemerdekaan belum berkembang
sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, namun menurut Selo Sumardjan banyak di antara para
pujangga dan
pemimpin-pemimpin kita yang
telah
memasukkan
unsur-unsur
sosiologi
dalam ajaran-ajarannya
(1965).
Sebagai contoh ajaran “Wulang Reh” yang diciptakan oleh Mangkunegara
IV dari
Surakarta sarat dengan tata hubungan golongan ang berbeda-beda pada masyarakat Jawa, terutama
menyangkut
intergroup
relations.
Kemudian ajaran-ajaran Kihajar Dewantara
banyak membahas tentang kepemimpinan dan kekeluargaan yang diterapkan pada
pendidikan Taman Siswa (Soemardjan, 1965; Soekanto, 1986: 42).
Penjelasan di atas jelas menunjukkan bahwa unsur-unsur sosilogi
tidak digunakan dalam teori murni sosiologis, akan tetapi sebagai landasan untuk tujuan tertentu, terutama
sebagai
tata
hubungan antar manusia dan pendidikan.
Begitu
juga dalam
karya-karya
peneliti yang secara khusus meneliti masyarakat Indonesia seperti Snouck Hurgronje,
C.,van Vollenhoven, ter
Haar,
Duyvendak dan lain-lain, begitu nampak
unsur-unsur sosiologis
namun belum meningkat ke sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri
sendiri.
Rechtshogeschool
atau Selkolah Tinggi Hukum
yang berkedudukan
di
Jakarta,
merupakan lembaga perguruan tinggi di Indonesia yang pertama kali memberikan kuliah- kuliah
sosiologi sebelum
meletusnya Perang Dunia II. Substansi sosiologi
di sini-pun hanyalah sebagai bagian pelengkap
dalam kajian ilmu hokum. Begitu juga yang memberikan kuliahnya-pun bukan sarjana-sarjana sosiologi, tetapi lebih
bersifat filsafat sosial dan teoritis
berdasarkan buku-buku karya Alfred Vierkandt, Lepold von Wise Steinmetz,
dan
Bierens de Haan (Soemardjan: 1965; Soekanto: 1986:
43).
Baru
setelah kemerdekaan Indonesia dicapai, seorang sarjana Indonesia yakni Prof.
Dr. Mr. Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya memberi kuliah sosiologi pada tahun
1948
di Akademi Politik di Yogyakarta (kemudian dilebur dalam Universitas Gajah Mada).
Beliau memberikan
kuliah dengan bahasa pengantar Bahasa Indonesia, padahal waktu itu Bahasa
Indonesia jarang digunakan keculai Bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik
tersebut, sosilogi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan
pada
jurusan pemerintahan
dalam negeri, hubungan lur negeri, dan publisistik. Pada tahun 1950, mulailah beberapa orang
Indonesia mempelajari sosiologi secara khusus.
Mr.
Djody Gondokusumo, merupakan penulis pertama
buku sosiologi di Indonesia setelah
terjadinya Revolusi Fisik yang berjudul Sosiologi Indonesia. Kemudian
pada tahun
1950, setelah berakhirnya Revolusi Fisik, menyusul diterbitkannya buku sosiologi oleh Bardosono, yang sebenarnya lebih merupakan
diktat yang ditulis seorang mahasiswa yang mengikuti kuliah-kuliah sosiologi dari seorang
guru besar yang tidak disebutkan namanya
(Soemardjan, 1965).
Kemudian disusul oleh
tulisan Hassan Shadily, M.A. yang
berjudul
Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia tahun 1952, penerbit P.T Pembangunan (Shadily,
1952). Buku ini merupakan buku pelajaran pertama di Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi modern, yang
dianggap cukup representatif untuk
memenuhi keperluan mahasiswa
kita
saat itu.
Tidak lama kemudian tahun 1962, Selo Soemardjan menulis
buku Social Changes
dalam bahasa Inggeris, yang sebenarnya
buku ini merupakan disertasi untuk mendapatkan
gelar doctor pada Cornell University, Amerika Serikat. Isinya adalah perhal
perubahan-
perubahan sosial dalam masyarakat Yogyakarta sebagai akibat revolusi politik dan sosial di
Yogyakarta. Bersama-sama Soelaeman Soemardi tahun 1964 Selo Soemardjan
menulis buku
Setangkai Bungan Sosiologi,
yang
untuk para mahasiswa
dijadikan bacaan wajib pada
beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta (Soekanto, 1986: 45).
Sekarang ini di sejumlah
Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Ilmu Sosial
Politik atau Fakultas Ilmu Sosial, di mana sosiologi dikuliahkan sampai tingkat yang lebih tinggi sejak tingkat persiapan. Namun sayangnya sampai
sekarang ini belum ada Universitas
Negeri yang mempunyai
Fakultas Sosiologi, baru memiliki Jurusan Sosiologi pada Fakultas
Sosial dan Politik (UGM), pada Fakultas Ilmu Sosial (UI dan UNPAD).
No comments:
Post a Comment