Tuesday, December 1, 2015

Sejarah Lahir dan Perkembangan Sosiologi




Pemikiran dan perhatian intelektual terhadap masalah-masalah serta isu-isu yang berhubungan dengan sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi suatu disiplin ilmu. Para ahli filsafat Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18 sudah
menekankan peranan akal  budi  yang  potensial dalam memahami perilaku  manusia dan dalam memberikan landasan untuk hukum-hukum dan organisasi negara (Becker: 1932; Berlin:  1956;  Capaldi: 1967).  Pemikiran mereka  lebih  ditekankan  pada  dobrakan  utama
terhadap pemikiran abad pertengahan yang bergaya skolastik atau dogmatis, di mana perilaku  manusia  dan  organisasi  masyarakat  itu  sudah  dijelaskan  dalam  hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama (Johnson, 1986: 14).
Sejarawan dan filsuf sosial Islam Tunisia Ibnu Khaldun (1332-1406), sudah merumuskan suatu model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat- masyarakat halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras (Chambliss, 1954:
285-312). Karya Khaldun tersebut ditungkan dalam bukunya yang berjudul al-Muqaddimah tentang  sejarah dunia  dan  sosial-budaya yang  dipandang sebagai karya  besar  di  bidang tersebut (Sharqawi, 1986: 144). Dari kajiannya tentang watak masyarakat manusia, Khaldun menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding kehidupan kota dan
masing-masing kehidupan ini mempunyai karakteristik tersendiri. Menurut pengamatannya politik tidak akan timbul kecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi kecuali  dengan  solidaritas.  Lebih  jauh  lagi  ia  mengemukakan  bahwa  kelompok  yang
terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang, baik dalam slogan, pakaian, kendaraan, dan tradisinya. Selain itu salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang menggemari  kemewahan,  kesenangan,  kedamaian.  Dan  apabila  hal-hal  ini  semuanya
mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk dalam masa senja. Dengan demikian kebudayaan itu adalaah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja (Al-Muqaddimah,
1284 H: 168).
Pendapat  Khaldun  tentang  watak-watak  masyarakat  manusia  ini   dijadikannya sebagai landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat fase, yaitu: fase primitif atau nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Khaldun sering disebut dengan fase; pembangun, pemberi gambar gembira, penurut, dan penghancur (Al-Muqqaddimah, 1284 H: 137; Sharqawi, 1986: 145).
Jadi,  peradaban-peradaban  ditakdirkan  tidak  untuk  bertahan  lama  dan  tumbuh tanpa batas, tetapi untuk lebih menjadi mudah ditaklukkan oleh orang nomaden yang kuat,
keras, dan keberaniannya diperkuat oleh rasa solidaritas yang tinggi. Namun kemudian, penakluk-penakluk ini-pun meniru gaya hidup yang kebudayaan yang halus yang mereka
taklukkan. Dan siklus terus terulang lagi. Model masyarakat yang Khaldun gambarkan mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di jazirah Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan
suatu deskripsi historis mengenai masyarakat-masyarakat Arab, tetapi untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika- dinamika masyarakat dan  proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan. Semangat atau sikap ilmiahnya dalam menganalisis sosial-budaya pada umumnya mendekati bentuk-
bentuk penelitian ilmiah modern, dan isinya secara substantif dapat disejajarkan dengan teori sosial modern. Namun demikian karya Khaldun sudah banyak diabaikan oleh para ahli teori sosial di Eropa dan Amerika, mungkin antara lain karena dunia Arab saat itu mulai
mundur, sedangkan Eropa dan Amerika semakin mendominasi (Johnson, 1986: 15).
Keadaan  semacam  ini   tidak   sekedar  melanda  dalam   sosiologi,  sebab  sampai menjelang pertengahan abad ke 19, hampir semua ilmu pengetahuan yang dikenal sekarang
ini, pernah menjadi bagian dari filsafat dunia Barat yang berperan sebagai induk dari ilmu pengetahuan atau Mater Scientiarum” ataupun menurut Francis Bacon sebagai the great mother of the sciences (Rosenberg, 1955: 29). Pada waktu itu filsafat mencakup segala usaha-
usaha pemikiran mengenai masyarakat. Lama kelamaan, dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya peradaban manusia, pelbagai ilmu pengetahuan, yang semula tergabung dalam filsafat memisahkan diri dan berkembang mengejar tujuan masing-masing. Astronomi (ilmu tentang bintang-bintang), dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang ifilsafat yang




terawal memisahkan diri, yang kemudian diikuti oleh ilmu kimia, biologi, dan geologi. Pada abad 19 kemudian muncul dua ilmu pengetahuan baru, yakni psikologi dan sosiologi. Begitu juga Astronomi yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat yang bernama kosmologi, sedangkan alamiah menjadi fisika, filsafat kejiwaan menjadi psikologi, dan filsafat sosial menjadi sosiologi (Soekanto, 1986; 3).
Dengan demikian maka lahirlah sosiologi, yang dalam pertumbuhannya dapat dipisahkan  dari  ilmu-ilmu  sosial  lainnya,  seperti;  ekonomi,  sejarah,  politik,  dan  lain
sebagainya. Lahirnya sosiologi sebagai ilmu sosial tidak lepas peranannya dari seorang tokoh brilyan tetapi kesepian. Ia adalah Auguste Comte (1798-1857), yang tidak hanya menemukan nama untuk bidang studi yang belum dipraktekkan pada saat itu, tetapi juga mengklaim
status  masa  depan  ilmu  pengetahuan  tentang  hukum  yang  mengatur  perkembangan progresif namun teratur dari masyarakat terutama dari hukum dinamika sosial dan hukum statis   sosial   (Bauman,   2003:   1032)     pengetahuan   yang   akan   diperoleh   dengan menyebarkan metode ilmiah dari observasi dan eksperimen yang dapat diterapkan secara universal.
Comte menulis buku berjudul Course of Positive Philosophy yang diterbitkan pada tahun antara 1830-1842, yang mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah (Johnson, 1986: 13). Buku tersebut merupakan ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis tentang filsafat positif, yang semua ini terwujud dalam tahap akhir perkembangan (Johnson, 1986; 84-85). Singkatnya dalam hukum itu menyatakan bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, terbagi dalam tiga stadia, yaitu: (1) tahap teologis, ditandai oleh kekuatan zat adikodrati Yang Maha Kuasa;  (2) tahap metafisik, ditandai oleh kekuatan pikiran dan ide-ide abstrak yang absolut; dan (3) tahap positif yang ditandai dengan kemajuan ilmu-ilmu positivistik untuk kemajuan dan keteraturan hidup manusia, di mana sosiologi akan menjadi “pendeta agama baru” (Lauer,
2001: 73-74).
Sosiologi yang lahir tahun 1839, berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan, dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kata” atau berbicara”. Dengan
demikian sosiologi berarti berbicra mengenai masyarakat. Bagi Comte maka sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Tokoh lainnya ahli kemasyarakatan dari Inggeris yaitu Herbert Spencer (1820-1830), merupakan tokoh yang pertama-tama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkrit yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Principles of  Sociology. Ia
mengemukakan bahwa kunci memahami gejala sosial atau gejala alamiah itu adalah hukum evolusi universal (Spencer, 1967). Gejala fisik, biologis, dan sosial itu semuanya tunduk pada hukum  dasar  tersebut.  Kemudian  prinsip-prinsip  evoulusi  tersebut  juga  diperluas  dari
tingkat gilogis ke sosial sehingga semboyan survival aof the fittest dalam Darwinisme Sosial itu-pun sebenarnya dari Spencer
Emile Durkheim (1858-1917) yang diakui sebagai “bapak sosilogi” dalam pengembangan disiplin sosiologi sebagai disiplin akademik, mengikuti tradisi positivistic
Prancis dan mengemukakan dalil keberadaan fakta sosial yang spesifik, yang telah ditinggalkan oleh bentuk studi lainnya, khususnya psikologi yang merupakan pesaing dari sosiologi yang paling nyata dalam tugas menjelaskan keteraturan di dalam tindakan manusia
yang dapat diamati. Dalam bukunya yang berjudul The Rules of Sociological Method, Durkheim  mengajukan  dalil  bahwa  fakta  sosial  itu  tidak  dapat  direduksikan  ke  fakta individu, melainkan memiliki eksistensi yang idependen pada tingkat sosial. Inilah yang awal
yang menegakkan sosilogi sebagai satu disiplin ilmu tersendiri terlepas dari psikologi, walaupun pendapat tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Marx Weber dan George C. Homans dalam karyanya Social Behavior: Its Elementary Forms, kelompok reduksionis yang mengemukakan bahwa setiap usaha untuk menjelaskan gejala sosial akhirnya harus didasarkan pada proposisi-proposisi mengenai perilaku individu (Homans,
1961).




Apa yang membedakan fakta sosial itu dapat dibedakan dengan gejala individual ? Bagi Durkheim, fakta sosial itu memiliki karaktersitik yang berbeda dengan gejala individual, yakni: Pertama, fakta sosial itu bersifat eksternal terhadap individu, yang merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan keberadaannya di luar kesadaran individu. Kedua, fakta sosial itu “memaksa” kepada individu, walaupun tidak dalam pengertian kepada hal-hal negatif. Melalui fakta sosial individu tersebut dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi dalam lingkungan sosialnya. Ketiga, fakta sosial itu bersifat universal, oleh karenanya tersebar secara luas dalam arti milik bersama, bukan sifat individu perorangan ataupun hasil penjumlahan individual, tetapi kolektif.
Dalam buku yang lain, Division of Labour in Society, Durkheim memusatkan konsep
“solidaritas sosial” sebagai sebuah karya yang membawahi semua karya utamanya. Singkatnya, ”solidaritas sosial” menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dengan  kelompok yang  didasarkan  pada  perasaan  moral  serta  kepercayaan yang  dianut bersama  yang  diperkuat oleh  pengalaman emosional bersama. Dalam  hal  ini  Durkheim menganalisis pengaruh atau fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. Dalam arti bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas sosial mekanik ke solidaritas sosial organik (Durkheim, 1964a: 79).
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif” bersama (collective consciousness/conscience)  yang  menunjuk  pada  totalitas  kepercayaan-kepercayaan  dan
sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama tersebut. Sedangkan dalam solidaritas organik, terdapat saling ketergantungan yang tinggi dan hal itu
muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar sehingga terbentuk spesialisasi- spesialisasi dalam pembagian pekerjaan. Karaktersitik dalam munculnya solidaritas organic tersebut ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restrictive) daripada
bersifar represif.(Jonson, 1986: 183-184).
.Pada saat yang hampir sama, Max Weber (1864-1920) tokoh pendiri akademik lainnya  yang  terinpirasi  oleh  tradisi  Geisteswissenchaven dan  Kulturlehre  dari  Jerman, berusaha membentuk disiplin baru. Sosiologi dibedakan oleh pendekatan dan pandaangan
interpretatifnya daripada oleh pernyataan bahwa seperangkat “fakta” terpisah merupakan wilayah eksklusif untuk studinya. Bagi Weber, sosiologi dibedakan oleh usahanya untuk verstehen (memahami) tingkah laku manusia. Untuk fokus kajiannya itu ia berbeda dengan
Durkheim yang menekankan fakta sosial tersebut. Bagi Weber kenyataan sosial itu sebagai sesuatu yang didasarkan motivasi individu dan tindakan sosial yang berarti. Dalam arti bahwa tinjauan Weber tersebut berhubungan dengan posisi nominalis, yang berpendirian
bahwa hanya individu-lah yang riil secara obyektif, sebaliknya masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu.
Tetapi    analisis    substantif    Weber    tidak    mencerminkan    suatu    posisi    yang
individualistik dengan ekstrimnya. Dia juga mengikuti pentingnya dinamika-dinamika kecenderungan  sejarah  yang  besar  pengaruhnya  terhadap  individu,  walaupun  posisinya dapat  dilihat  sebagai  sesuatu  yang  berhubungan  dengan  individualisme-metodologis. Artinya data ilmiah bagi ilmu sosial akhirnya berhubungan dengan tindakan-tindakan individu yang bersifat subyektif yang berhungan dengan pelbagai “kategori interaksi manusia. Alasan mengapa dia menekankan pada kajian  idividu yang serba subyektif ?. Karena di masa hidupnya ia sangat menekankan idealisme dan historisme.
Dunia ilmu budaya tidaklah bisa dipandang sebagai sesuatu yang sesuai dengan yang dimengerti menurut hukum-hukum ilmu alam saja, yang menyatakan hubungan itu bersifat kausal. Sebaliknya dunia budaya harus dilihatnya sebagai dunia kebebasan dalam hubungannya dengan pengalaman dan pemahaman internal di mana arti-arti subyektif itu dapat ditangkap. Sebab pengetahuan yang obyektif melulu mengenai tipe yang dicari dalam ilmu-ilmu alam tidaklah memadai. Pandangan semacam ini dikembangkan oleh gurun Weber, yakni seorang sejarawan Jerman bernama Wilhelm Dilthey (1883-1911) yang menekankan tradisi idealis dan ilmu hudayanya yang menekankan verstehen (pemahaman subyektif) bertentangan dengan paradigma positivisme dari Prancis atau Durkheim tersebut (Bauman, 2002: 1025)..




Namun sebaliknya Weber juga berpendirian bahwa sosiologi haruslah merupakan suatu  ilmu  empirik;  harus  menganalisis  perilaku  actual  manusia  individual  menurut orientasi subyektif mereka sendiri.  Hal  ini  yang  juga  membedakan tajam  dengan kaum idealistic lainnya yang menurut anggapannya hanya menginterpretasikan perilaku individu ataupun perkembangan sejarah suatu masyarakat sesuai dengan asumsi-asumsi apriori yang luas. Di sini pula tinjauan Weber yang sesuai dengan positivisme karena menekankan arti pentingnya empirisme, tetapi bedanya Weber tetap tidak menghilangkan arti penting tentang subyektivisme.
Dalam hal ini Weber bisa dikatakan setapak lebih jauh dalam memisahkan nilai-nilai analisis ilmiahnya. Selain ia terkenal dengan metode verstehen-nya, ia juga, Weber juga
mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah membenarkan suatu dasar untuk memberikan pertimbangan nilai (value judgment). Ilmu pengetahuan harus bersifat netral dalam   hubungannya   dengan   menilai   posisi-posisi   moral   yang   bertentangan.   Inilah
keunggulan Weber, kendatipun pendapat yang  tearkhir  ini  banyak  mendapat kritik  dari mazhab Frankfurt berikutnya. Selain itu salah stu sumbangan Weber yang penting lainnya dalam bidang metodologi adalah ia mengembangkan tipe ideal sebagai suatu cara untuk memungkinkan perbandingan dan generalisasi-generalisasi empirik (Parson dan Neil, 1956).
Tipe ideal dikonstruksikan dan digunakan sebagai tonggak pengukur untuk menilai seberapa jauh gejala itu sesuai dengan tipr ideal tesebut, sebagai konsep teoretis dalam mengembangkan   hipotesei-hipotesis   penelitian.   Akan   tetapi   tipe   ideal   bukan   tidak
mengandung pertimbangan nilai mengenai gejala yang sedang kita amati, jadi dugunakan untuk analisis, bukan untuk evaluasi (Johnson, 1986: 218). Dan, salah satu tipe ideal yang paling  terkenal  dari  Weber  adalah  tentang  birokrasi. Pelbagai  karaktersitik  birokrasi  pembagian kerja dan spesialissi, hirarki otoritas, penerimaan pegawai berdasarkan keahlian teknis, tekanan pada peraturan formal dan impersonalitas membentuk tipe ideal suatu organisasi birokrasi. Memang dua tokoh ahli sosiologi tersebut (yakni Durkheim dan Weber) tersebut merupakan dua  tokoh  sosiologi yang  paling terkemuka dalam  sejarah perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.
Sosiologi berkembang dengan pesatnya pada abad ke-20, khususnya di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat, walaupun arah perkembangannya dari ketiga negara tersebut berbeda-beda. Sebagai contoh di Inggris, walaupun dipopulerkan oleh John Stuart Mill dan Herbert Spencer, ternyata Sosiologi kurang berkembang di sana, dan hal ini berbeda dengan di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat (Soekanto, 1986: 4).
Nama-nama seperti Auguste Comte dan Emile Durkheim (Prancis), Herbert Spencer
(Inggris), Karl Marx, Manheim, Marx Weber, Georg Simmel, Ralf Dahrendorf (Jerman), Vilfredo  Pareto  (Itali),  Pitirim  Sorokin  (Rusia),  Charles  Horton  Cooley,  Talcot  Parsons, George Herbert Mead, Lester F. Ward, Erving Goffman, Lewis Coser, Randall Collins (Amerika Serikat),  beserta tokoh sosiolog lainnya yang  terkemuka dalam perkembangan sosiologi di Eropa dan Amerika. Dari kedua benua inilah sosiologi kemudian menyebar ke benua dan negara-negara lain, termasuk ke Indonesia. Singkatnya para pelopor yang mengembangkan  dasar-dasar  sosiologi  merasa  yakin  bahwa  mereka  hidup  dalam  saat penting yang menentukan dalam sejarah.
Sejalan dengan berkembangnya analisis yang hidup dan berpengaruh mengenai revolusi-revolusi  ilmu  pengetahuan,  Thomas  Kuhn  dalam  karyanya  The  Structure  of
Scientific Revolutions, menunjuk pada asumsi-asumsi intelektual yang disebutnya dengan istilah “paradigma”. Suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (world view atau weltanschauung) yang dimiliki oleh para ilmuwan dalam suatu disiplin ilmu tertentu (Kuhn,
1970). Kemudian timbul pertanyaan; apakah sosiologi didominasi oleh hanya satu paradigma saja ? Bisa saja secara umum orang menjawabnya ya. Akan tetapi dibalik dibalik pandangan yang umum tersebut terdapat perbedaan yang menyolok dalam asumsi-asumsi dasar dari
para ahli sosiologi tersebut. Oleh karena itulah George Ritzer dalam Sociology: A Multiple Paradigm  Science,  menolak  anggapan  tersebut.  Dia  membedakan  tiga  paradigma  yang secara fundamental yang sangat kontras, antara lain: (1) paradigama fakta sosial, (2) paradigma definisi sosial, dan (3) paradigma perilaku sosial (Ritzer, 1970).




Hal yang mendasar dalam distingsi ini adalah perbedaan-perbedaan dalam asumsi dasarnya mengenai hakikat kenyataan sosial. Paradigma fakta sosial yang diwakili Emile Durkheim selama tahap perkembangan teori sosiologi klasik yang sangat menyolok, dan pada masa kini  dalam fungsionalisme dan teori konflik (Marxis  dan non-Marxis seperti Dahrendorf, Coser, dan Collins) yang menekankan ide bahwa fakta sosial adalah real atau sekurang-kurangnya dapat  diperlakukan  sebagai  yang  real,  sama  seperti  fakta  individu (Johnson, 1986: 55). Selain itu juga fakta sosial tidak bisa direduksi ka fakta individu; fakta sosial memiliki realitasnya sendiri. Struktur sosial dan isntitusi sosial merupakan salah satu di antara fakta sosial tersebut yang mendapat perhatian khusus dari para ahli sosiologi.
Paradigma definisi sosial (social definition) menekankan hakikat kenyataan sosial yang sifatnya subjektif. Pada masa sosiologi klasik, paradigma ini diwakili oleh Max Weber
dan tindakan sosial yang dikembangkan oleh Talcot Parsons di awal perkembangan karirirnya. Begitu juga teori interaksionisme simbolik dalam karya Mead, Cooley, Thomas,
dsb. Paradigma ini beranggapan banhwa kenyataan sosial didasarkan pada definisi yang subjektif  sifatnya  dari  penafsiran individu.  Kemudian, paradigma perilaku  sosial  (social behavior) menekankan pendekatan objektif-empiris terhadap kenyatan sosial. Menurut pandangan ini, data empiris mengenai kenyataan sosial hanyalah perilaku-perilaku individu
yang nyata (overt behavior) yang dapat diukur. Kelompok ini diwakili oleh Skinner dan
Homans.
Faktor-faktor multiparadigmatik ini pula yang mendorong dalam sosiologi mempersubur  banyaknya  teori-teori  sosiologis  yang  sangat  kaya,  namun  mereka  yang
mewakili paradigma-paradigma yang saling bertentangan itu bertolak dari posisi yang berbeda-beda,   lama-kelamaan   menuju   titik   temu   yang   menyangkut   banyak   pokok
permasalahan yang penting. Hal ini bisa kita lihat contohnya mereka yang mewakili paradigma fakta sosial, akhirnya terpaksa mengakui bahwa fakta sosial tidak hanya bersifat eksternal, tetapi juga ada dalam derajat tertentu memiliki kesadaran subjektif individu yang
bersifat internal (Johnson, 1986: 57). Begitu juga dalam kelompok paradigma definisi sosial. Mereka pada akhirnya mengakui bahwa orang tidak hidup dalam suatu dunia yang seolah- olah  tidak  ada  lagi  yang  lain  dalam  kenyataan  sosial  kecuali  definisi-definisi  subjektif mereka. Setidak-tidaknya untuk berkomunikasi dengan orang lain, di mana individu harus
mempelajari suatu bahasa yang tidak mereka ciptakan sendiri ataupun individual. Di sinilah karya Weber memberikan contoh kuat peralihan dari paradigma definisi sosial ke paradigma fakta sosial (Johnson, 1986: 58).
Keteraturan sosial lama sudah hancur berantakan dan sedang menghilang dengan cepat,  dan  tidak  jelas  apa  yang  menggantikannya. Sistem  kepercayaan  tradisional  yang dahulunya  memberikan  arti  pada  hidup,  ikut  mengarahkan  dan  mengontrol  perilaku,
menjadi rusak oleh munculnya pendekatan ilmiah dan oleh sejumlah ideologi baru. Pelbagai kelompok kepentingan dalam bidang ekonomi, politik, dan nasional mulai mengejar tujuan- tujuannya sendiri, yang tidak terlalu banyak dibatasi oleh tradisi atau oleh komitmen moral
bersama, seperti oleh tekanan-tekanan yang datang dari kelompok-kelompok oposisi. Meskipun konteks sosial tertentu bervariasi antara satu negara dengan lainnya, semua pelopor  ahli  sosiologi  melihat  masyarakatnya  yang  sedang  mengalami  perubahan  pesat sering tanpa arah yang jelas. Tentu saja gambaran mereka tentang masa lampau terlalu
menekankan stabilitas dan kedamaian; walaupun demikian, hal ini memberikan suatu dasar perbandingan dengan masa sekarang (Nisbet, 1966).
Banyak para ahli ilmu sosial modern yang menaruh minat serta perhatiannya pada
berbagai perubahan sosial yang terjadi belakangan ini. Beberapa ahli diantaranya berusaha untuk menunjukkan kecenderungan yang akan memungkinkan dapat dibuatnya proyeksi- proyeksi tentang masa depan. Dan, kebangkitan yang paling berkembang serta mengakibatkan munculnya kritik yang luas dan penolakan terhadap apa yang disebut Anthony Giddens sebagai konsessus ortodoks pada tahun 1970-an yaitu “revolusi fenomenologis” Diawali oleh Berger dan Luckman (1966) revolusi tersebut ditopang oleh melimpahnya reformulasi radikal dari subyek persoalan dan strategi yang tepat dari karya- karya sosiologi. Karya Alfred Schutz Life Forms and Meaning Structure merupakan inspirasi dan otoritas teoretis yang utama. Karya ini  telah membuka jalan  bagi pengaruh filsafat kontinental Edmund Huseerl dan Martin Hidegger, dan aplikasi hermeneutiknya di dalam




tulisan-tulisan Paul Ricouer serta Hans Gadamer. Efek dari pengungkapan fenomenologi adalah pergeseran minat dari batasan structural eksternal dan ekstra-subyektif, menuju ke interpretasi pengalaman subyektif dari  pelaku; dan  dari  determinasi ke  arbitrase antara kebenaran obyektif dan opini prasangka, kemudian ke usaha mengungkapkan kondisi pengetahuan yang berakar di dalam tradisi yang ditransmisikan secara komunal. “Etnometodologi” dari Harold Garfinkel dalam karyanya Studies in Ethnomethodology yang  memperlakukan masyarakat sebagai  prestasi dari  pelaku atau  aktor  yang berpengethuan luas, di dalam kegiatan sehari-harinya lebih jauh menambahkan daya dorong kepada reorientasi sosiologi berpindah dari struktur dan sistem obyektif” menuju ke “perwakilan (agency) sosial”, refleksi diri, aksi intensional dan konsekuensinya yang tidak terantisipasi, merupakan sebuah  perpindahan yang  secara  spesifik dideskripsikan dalam karya Giddens (1976).
Telaah muncul keterbukaan yang lebih luas dari sosiologi terhadap perkembangan dan bentuk-bentuk disiplin sosial lainnya, dan secara umum bergerak di bidang kebudayaan. Terlepas dari fenomenologi dan hermeneutika, pengaruh yang sangat kuat adalah teori kritis dari Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dalam pemikiran filsafat kritis The Dialectic of Enligtenment (1949), semiotik dari Levi-Strauss dan Roland Barthes dalam buku Mithologies (1957) dan Elements of Semiology (1964), filsafat pengetahuan dari Mitchel Foucault dalam The Order of Things: An Archeology of the Human Science (1973) dan Archeology  of  Knowledge  (1969),  historiografi  dari  Fernand  Braudel  yang  merupakan sejarah sosial dalam The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II (1966), psikoanalisis baru dari Jaques Lacan dalam Ecrits: A Selection (1966), dan Television: A Chalenge to the Psichoanalitic Establisment, serta dekontruksi dalam dari Jaques Derrida mengenai teori tentang tulisan dalam Of Gramatology (1967). Selain itu juga semakin berkembang penulisan sosiologi yang diwarnai pemikiran karakter transnasional. Contohnya adalah dampak luas dari  karya Jurgen Habermas (1979), “teori komunikasi” karya Nikolas Luhman, teori sistem ditinjau kembali” karya Ulrich Beck (1992), Risiko- gesellschaft, analisis Frederick Barth tentang batas-batas etnis, atau gagasan “modal kultural”, dan “habitus” dari Pieree Bourdieu (1985).
Mereka percaya akan adanya indikasi-indikasi bahwa kita ini ada pada jalan pintas yang  dalam  jangka  panjang  dapat  menjadi  penting  untuk  masa  depan,  seperti  halnya
Revolusi Industri di masa silam. Sebut saja Daniel Bell dalam karyanaya The Coming of Post- Industrial Society, ia menganalisis munculnya masyarakat “pasca industri”. Ia berpendapat bahwa  dalam  masyarakat  “pasca  industri”  dicirikan  sutu  tipe  masyarakat  yang  lebih
menekankan pada produksi jasa, bukan barang-barang. Hal ini akan mencakup suatu transformasi  besar  dalam  dalam  masyarakat  dunia  umumnya.  Jika  suatu  masyarakat industri didasarkan pada harta benda sebagai indikatornya, maka pengetahuan teoretis akan
menjadi suatu teori nilai kerja sampai kepada suatu teori nilai pengetahuan. Menurutnya perubahan dalam dasar kehidupan sosial ini juga ditandai oleh adanya suatu perubahan dalam struktur kelas. Kelas sosial baru yang dominan bukan lagi suatu kelas borjuis pemilik harta   benda,   tetapi   suatu   “inteligensia   sosial”:   suatu   kelas   maupun   individu   yang
mendominasi bentuk-bentuk pengetahuan teoretis seperti para guru, dokter, konsultan, pengacara, ilmuwan, insinyur, dan profesi keilmuan lainnya .
Di  Indonesia,  walaupun secara  formal  sebelum  kemerdekaan belum  berkembang
sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, namun menurut Selo Sumardjan banyak di antara para pujangga  dan  pemimpin-pemimpin  kita  yang  telah  memasukkan  unsur-unsur  sosiologi dalam ajaran-ajarannya (1965).
Sebagai contoh ajaran “Wulang Reh” yang diciptakan oleh Mangkunegara IV dari Surakarta sarat dengan tata hubungan golongan ang berbeda-beda pada masyarakat Jawa, terutama  menyangkut  intergroup  relations.  Kemudian  ajaran-ajaran  Kihajar  Dewantara
banyak membahas tentang kepemimpinan dan kekeluargaan yang diterapkan pada pendidikan Taman Siswa (Soemardjan, 1965; Soekanto, 1986: 42).
Penjelasan di atas jelas menunjukkan bahwa unsur-unsur sosilogi tidak digunakan dalam teori murni sosiologis, akan tetapi sebagai landasan untuk tujuan tertentu, terutama
sebagai  tata  hubungan  antar  manusia  dan  pendidikan.  Begitu  juga  dalam  karya-karya




peneliti yang secara khusus meneliti masyarakat Indonesia seperti Snouck Hurgronje, C.,van Vollenhoven, ter  Haar,  Duyvendak  dan  lain-lain,  begitu  nampak  unsur-unsur  sosiologis namun belum meningkat ke sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Rechtshogeschool  atau  Selkolah  Tinggi  Hukum  yang  berkedudukan  di  Jakarta,
merupakan lembaga perguruan tinggi di Indonesia yang pertama kali memberikan kuliah- kuliah sosiologi sebelum meletusnya Perang Dunia II. Substansi sosiologi di sini-pun hanyalah sebagai bagian pelengkap dalam kajian ilmu hokum. Begitu juga yang memberikan kuliahnya-pun bukan sarjana-sarjana sosiologi, tetapi lebih bersifat filsafat sosial dan teoritis berdasarkan buku-buku karya Alfred Vierkandt, Lepold von Wise Steinmetz, dan Bierens de Haan (Soemardjan: 1965; Soekanto: 1986: 43).
Baru setelah kemerdekaan Indonesia dicapai, seorang sarjana Indonesia yakni Prof. Dr. Mr. Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya memberi kuliah sosiologi pada tahun
1948 di Akademi Politik di Yogyakarta (kemudian dilebur dalam Universitas Gajah Mada).
Beliau memberikan kuliah dengan bahasa pengantar Bahasa Indonesia, padahal waktu itu Bahasa Indonesia jarang digunakan keculai Bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosilogi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan pada jurusan pemerintahan dalam negeri, hubungan lur negeri, dan publisistik. Pada tahun 1950, mulailah beberapa orang Indonesia mempelajari sosiologi secara khusus.
Mr. Djody Gondokusumo, merupakan penulis pertama buku sosiologi di Indonesia setelah terjadinya Revolusi Fisik yang berjudul Sosiologi Indonesia. Kemudian pada tahun
1950, setelah berakhirnya Revolusi Fisik, menyusul diterbitkannya buku sosiologi oleh Bardosono, yang sebenarnya lebih merupakan diktat yang ditulis seorang mahasiswa yang mengikuti kuliah-kuliah sosiologi dari seorang guru besar yang tidak disebutkan namanya
(Soemardjan, 1965). Kemudian disusul oleh  tulisan Hassan Shadily, M.A. yang  berjudul
Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia tahun 1952, penerbit P.T  Pembangunan (Shadily,
1952). Buku ini merupakan buku pelajaran pertama di Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi modern, yang dianggap cukup representatif untuk memenuhi keperluan mahasiswa
kita saat itu.
Tidak lama kemudian tahun 1962, Selo Soemardjan menulis buku Social Changes
dalam bahasa Inggeris, yang sebenarnya buku ini merupakan disertasi untuk mendapatkan gelar doctor pada Cornell University, Amerika Serikat. Isinya adalah perhal perubahan-
perubahan sosial dalam masyarakat Yogyakarta sebagai akibat revolusi politik dan sosial di
Yogyakarta. Bersama-sama Soelaeman Soemardi tahun 1964 Selo Soemardjan menulis buku
Setangkai Bungan Sosiologi, yang untuk para mahasiswa dijadikan bacaan wajib pada beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta (Soekanto, 1986: 45).
Sekarang ini di sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Ilmu Sosial
Politik atau Fakultas Ilmu Sosial, di mana sosiologi dikuliahkan sampai tingkat yang lebih tinggi sejak tingkat persiapan. Namun sayangnya sampai sekarang ini belum ada Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosiologi, baru memiliki Jurusan Sosiologi pada Fakultas Sosial dan Politik (UGM), pada Fakultas Ilmu Sosial (UI dan UNPAD).

No comments:

Post a Comment